Jumat, 25 November 2011

Tugas Geologi


Geologi Umum
Wilayah Indonesia merupakan daerah pertemuan atau benturan tiga lempeng tektonik yaitu Eurasia , Hindia-Australia dan Pasifik. Benturan tersebut sudah terjadi sejak jutaan tahun yang lalu, yang mengakibatkan adanya pergerakan pulau dan struktur batuan yang beragam. Berbagai jenis dan umur batuan batuan yang bervariasi membuat wilayah Indonesia kaya dengan sumberdaya mineral baik logam, non logam dan energi. Jenis mineral logam seperti emas, tembaga, perak, besi, kromit, timah, dsb. Jenis mineral non logam seperti belerang, batugamping, gambut, dsb. Jenis energi yang banyak tersedia di wilayah Indonesia diantaranya minyak, gas, batubara, dsb. Selain potensi sumberdaya yang cukup banyak tersedia, wilayah Indonesia juga merupakan zona-zona sesar, patahan dan deretan gunung api aktif yang memanjang dari ujung Sumatera sampai ke Maluku.
Sumberdaya Geologi
http://atlasnasional.bakosurtanal.go.id/images/geologi/geologi%20%282%29.jpg

Wilayah Indonesia merupakan daerah pertemuan atau benturan tiga lempeng tektonik yaitu Eurasia , Hindia-Australia dan Pasifik. Benturan tersebut sudah terjadi sejak jutaan tahun yang lalu, yang mengakibatkan adanya pergerakan pulau dan struktur batuan yang beragam. Berbagai jenis dan umur batuan batuan yang bervariasi membuat wilayah Indonesia kaya dengan sumberdaya mineral baik logam, non logam dan energi. Jenis mineral logam seperti emas, tembaga, perak, besi, kromit, timah, dsb. Jenis mineral non logam seperti belerang, batugamping, gambut, dsb. Jenis energi yang banyak tersedia di wilayah Indonesia diantaranya minyak, gas, batubara, dsb. Selain potensi sumberdaya yang cukup banyak tersedia, wilayah Indonesia juga merupakan zona-zona sesar, patahan dan deretan gunung api aktif yang memanjang dari ujung Sumatera sampai ke Maluku.






Jenis Sumberdaya Geologi:
Batubara adalah batuan sedimen organik, yang dapat terbakar sehingga dapat digunakan sebagai sumber energi. Batubara terbentuk dari hasil pengawetan sisa - sisa tanaman purba dan menjadi padat setelahtertimbun oleh lapisan di atasnya. Batubara merupakan bahan galian strategis dan salah satu sumber energi yang mempunyai peran besar dalam pembangunan nasional.
Secara umum batubara dapat dikenal dari kenampakan sifat fisiknya yaitu berwarna coklat sampai hitam, berlapis, padat, mudah terbakar, kedap cahaya, non kristalin, berkilap kusam sampai cemerlang, bersifat getas, pecahan kasar sampai konkoidal. Unsur kimia utama pembentuk batubara adalah karbon (C), hidrogen (H), nitrogen (N) dan sulfur (S). Proses pembentukan Batubara
Proses pembentukan batubara diawali oleh adanya pertumbuhan tanaman pembentuk batubara di lingkungan rawa-rawa. Tumbuhan tersebut kemudian mati dan terbenam di rawa. Tumbuhan baru hidup dan mati. Pada akhirnya sisa-sisa tumbuhan yang mati membentuk suatu lapisan, yang kemudian menghilang di bawah permukaan air. Dan terawetkan melalui proses biokimia. Ketebalan lapisan tumbuhan tersebut tergantung dari lamanya tumbuhan hidup. Lapisan tumbuhan yang telah mati dapat ditemukan dalam ketebalan yang bervariasi mulai dari beberapa meter hingga lebih dari 60 meter.
Jika diakibatkan oleh adanya penurunan muka tanah (subsidence) yang disebabkan oleh proses tektonik, hutan berakhir dibawah muka air, kehidupan tumbuhanpun berakhir. Selanjutnya material klastik yang dibawa oleh sungai diendapkan diatas sisa-sisa tumbuhan yang telah mati tersebut. Material klastik tersebut dapat berupa lapisan batupasir, batulempung atau batulanau yang kemudian menjadi tebal jika pengendapan terjadi dalam kurun waktu yang lama. Lapisan-lapisan tersebut dikenal sebagai lapisan pembawa batubara yang ketebalannya bisa mencapai ratusan meter. Jika penurunan tanah (subsidence) berkurang atau adanya proses pengangkatan tanah, daratan dapat muncul kembali diatas muka air sehingga tumbuhan dapat hidup kembali. Daurpun berulang kembali. Dengan cara seperti ini akan terbentuk beberapa lapisan sisa-sisa tanaman dengan kehadiran batupasir, batulanau atau batulempung berselingan mengendap diatasnya.
Dalam proses biokimia, adanya aktifitas bakteri mengubah bahan sisa-sisa tumbuhan menjadi gambut (peat). Gambut yang telah terbentuk lambat laun tertimbun oleh endapan-endapan lainnya seperti batulempung, batulanau dan batupasir. Dengan perjalanan waktu yang mungkin berpuluh juta tahun, gambut ini akan mengalami perubahan sifat fisik dan kimia akibat pengaruh tekanan (P) dan temperatur (T), sehingga berubah menjadi batubara. Proses perubahan dari gambut menjadi batubara dikenal dengan nama proses pembatubaraan (coalification). Sebagai gambaran untuk batubara dengan tebal +2m, dibutuhkan lapisan sisa-sisa tumbuhan dengan ketebalan + 60m. Pada tahap ini proses pembentukan batubara lebih didominasi oleh proses fisika dan geokimia. Pada proses pembatubaraan, gambut berubah menjadi batubara lignit, batubara bituminous sampai batubara antrasit.
http://atlasnasional.bakosurtanal.go.id/Images/batu%20bara/tumbuhan.png

Gambar 1. Gambaran hutan
dimana tumbuhan pembentuk batubara hidup
(Sumber: www.citg.tudelf.nl)


http://atlasnasional.bakosurtanal.go.id/Images/batu%20bara/sketsa_rawa.png

Gambar 2: Sketsa rawa dengan tumbuhan yang hidup diatasnya
(Sumber: www.citg.tudelf.nl )

http://atlasnasional.bakosurtanal.go.id/Images/batu%20bara/sisa_tumbuhan.png
Gambar 3: Sketsa yg menggambarkan sisa tumbuhan yg telah mati
& berada di bawah permukaan laut (Sumber: www.citg.tudelf.nl )


http://atlasnasional.bakosurtanal.go.id/Images/batu%20bara/sisa_hutan.png
Gambar 4: Sketsa hutan dgn beberapa lapisan sisa tumbuhan &
& material klastik di bawahnya (Sumber: www.citg.tudelf.nl )

http://atlasnasional.bakosurtanal.go.id/Images/batu%20bara/perubahan.png

Gambar 5: Sketsa perubahan dari lapisan sisa-sisa tumbuhan
menjadi lapisan batubara (Sumber: www.citg.tudelf.nl )
Kondisi paleogeografi, tektonik, serta iklim berperan penting dalam proses pembentukan batubara. Kondisi Paleogeografi dan Tektonik harus membentuk suatu cekungan yang memudahkan proses penumpukan sisa-sisa tumbuhan disamping melindungi rawa-rawa dari laut terbuka. Kondisi paleografi dan tektonik juga harus mendukung agar rawa-rawa tempat penumpukan tumbuhan yang mati, mengalami kenaikan muka air tanah secara perlahan dan lambat. Kondisi ini akan sangat mendukung bagi perkembangan endapan gambut yang tebal, yang pada akhirnya akan menentukan pembentukan lapisan-lapisan batubara. Sedangkan iklim berpengaruh besar terhadap jenis tumbuhan sebagai sumber pembentuk batubara. Iklim juga berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman serta kecepatan dekomposisi.
Sekitar 90% batubara didunia termasuk Indonesia terbentuk pada lingkungan paralism yaitu rawa-rawa yang berdekatan dengan pantai. Daerah seperti ini dapat dijumpai di dataran pantai, laguna, paparan dan fluviátil/sungai.
Pengendapan batubara di dataran pantai terjadi pada rawa-rawa dibelakang pematang pasir pantai, yang kearah darat berasosiasi dengan sistem laguna. Daerah ini tertutup hubungan dengan laut terbuka, pengaruh oksidasi air laut tidak ada, sehingga menunjang pembentukan batubara.
Pengendapan batubara pada lingkungan sungai (fluviátil) dapat terjadi pada rawa-rawa dataran banjir (flood plain) dan belakang tanggul alam (natural levee). Batubara yang terbentuk pada lingkungan seperti ini biasanya membentuk lensa-lensa yang membaji ke segala arah mengikuti bentuk cekungan limpahnya. Ditinjau dari proses terbentuknya, batubara dapat dibagi atas dua golongan yaitu:
  • Batubara insitu atau autochtonous, yaitu batubara yang terbentuk ditempat dimana tanaman itu berasal. Pada umumnya batubara jenis ini memiliki lapisan yang cukup tebal dengan kandungan abu rendah.
  • Batubara tertransportasi (transported) atau allochthonous, yaitu batubara yang terbentuk tidak pada tempat dimana tanaman asal terdapat, sehingga harus melalui proses transportasi ke tempat pengendapan. Batubara jenis ini biasanya memiliki lapisan yang tipis dan mengandung mineral (abu) cukup tinggi dibandingkan dengan batubara insitu.

Jenis Batubara

Berdasarkan tahapan pembentukannya, batubara dapat dikelompokan kedalam 5 jenis, mulai dari yang memiliki kalori terendah sampai tertinggi, yaitu :
  • Gambut
  • Lignit
  • Batubara sub bituminous
  • Batubara bitominous
  • Batubara antrasit
Standar Nasional Indonesia menetapkan jenis batubara berdasarkan nilai kalorinya, yaitu :
Batubara Kalori Rendah : < 5100 (gambut dan lignite)
Batubara Kalori Sedang : 5100 – 6100 (batubara sub bituminous)
Batubara Kalori Tinggi : 6100 - 7100 (batubara bituminus)
Batubara Kalori Sangat Tinggi : > 7100 (batubara bituminus dan antrasit)


http://atlasnasional.bakosurtanal.go.id/Images/batu%20bara/jenis%20batu.PNG

Gambar 6: Kenampakan Fisik Gambut, Lignite, Batubara Bituminus dan Batubara Antrasit
Sumber: www.citg.tudelf.nl
Dalam penggunaannya di dunia industri, batubara dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu batubara kokas (coking coal) dan batubara uap (steaming coal). Batubara kokas dipergunakan untuk pembuatan kokas (metallurgical coke), sedangkan batubara uap adalah bahan baku untuk menghasilkan uap yang selanjutnya dipergunakan menggerakkan turbin untuk menghasilkan listrik. 
BatubaraIndonesia

Di Indonesia batubara terbentuk pada cekungan-cekungan sedimentasi berumur Permo-Karbon sampai Terrier (Neogen  dan Paleogen). Sebagian besar batubara Indonesia berumur muda (Neogen), berupa batubara lignite dan subbituminus dengan  nilai kalori yang rendah dan sedang. Akan tetapi di beberapa tempat, seperti di daerah Bukit Asam dan Kubah Pinang (Sangata), batubara peringkat rendah tersebut mendapat pengaruh panas dari intrusi magma, yang menyebabkan kualitasnya meningkat, sehingga ada yang mencapai peringkat antrasit.

Endapan batubara Neogen yang bernilai ekonomis ditemukan di Cekungan Sumatra Selatan, Cekungan Bengkulu, Cekungan Kutai dan Tarakan (Kalimantan Timar) serta Cekungan Barito (Kalimantan Selatan). Sedangkan batubara Indonesia yang berumur Paleogen dengan nilai kalori yang tinggi serta bernilai ekonomis lebih sedikit jumlahnya daripada batubara Neogen, diantaranya terdapat di Cekungan Ombilin Sumatra Barat, Cekungan Sumatra Tengah (Riau), Cekungan Pasir dan Asam-Asam (Kalimantan Timar dan Selatan), Cekungan Barito (Kalimantan Tengah dan Selatan) serta Cekungan Ketungau ( Kalimantan Barat). Endapan batubara Paleogen juga ditemukan di Sulawesi dan  Jawa Barat, walaupun tidak terdapat dalam jumlah yang banyak.
Pada tahun 2006, jumlah sumberdaya batubara Indonesia tercatat sebanyak 90.451,87 juta ton. Dari jumlah tersebut sebanyak 67% berupa batubara dengan kalori sedang, 22% berupa batubara dengan kalori rendah, 10% berupa batubara dengan kalori tinggi dan 1% berupa batubara dengan kalori sangat tinggi.
Batubara Indonesia ditinjau dari penggunaannya dalam dunia industri dan perdagangan termasuk kedalam jenis batubara uap (steam coal/termal coal).Hingga saat ini, di Indonesia belum pernah ditemukan  batubara kokas. Walaupun demikian batubara bituminus Indonesia sangat bagus digunakan sebagai bahan campuran kokas.
Batubara Indonesia tergolong batubara yang bersih dengan kandungan abu (<5%) dan kandungan sulfur yang rendah (<1%), sehingga tidak terlalu mencemari lingkungan. Karakteristik tersebut membuat batubara Indonesia mampu bersaing di dunia perdagangan Internasional. Batubara Indonesia yang memiliki kalori tinggi sebagian besar diekspor ke luar negeri, sedangkan batubara peringkat rendah dan sedang dipergunakan sebagai sumber energi pembangkit tenaga listrik maupun sebagai bahan bakar pada berbagai industri di Indonesia, seperti industri semen, teksil maupun pupuk.

Mineral non logam adalah kelompok komoditas mineral yang tidak termasuk mineral logam, batubara maupun mineral energi lainnya. Mineral non logam biasa disebut juga sebagai bahan galian non logam atau bahan galian industri atau bahan galian golongan C. Bahan galian non logam mudah dicari dan pengusahaannnyapun tidak membutuhkan modal yang besar, teknologi yang rumit maupun waktu yang lama untuk eskplorasi, sehingga sangat cocok digunakan untuk mendorong perekonomian rakyat.
Berdasarkan kegunaannya, SNI 13-4688-1998 membagi mineral non logam menjadi 4 kelompok besar, yaitu:
A. Bahan Galian Aneka Industri
Adalah kelompok komoditas mineral bukan logam dan batuan yang terdiri atas batugamping, dolomit, fosfat, kalsit, zeolit, gipsum, bentonit, diatomea, barit, oker, yarosit, belerang, asbes talk, mika, dan yodium. Bahan galian aneka industri ini dipakai terutama sebagai bahan mentah dalam industri pupuk, kertas, plastik, cat, peternakan, pertanian, kosmetik, farmasi, dan kimia.
B. Bahan Galian Keramik
Adalah kelompok komoditas mineral bukan logam dan batuan yang terdiri dari lempung, toseki, felspar, kaolin, ballclay, bondclay, pasirkuarsa, batu pasirkuarsa, perlit, batuan kalium-natrium, trakhit, magnesit dan kuarsit. Bahan ini dipakai terutama sebagai bahan mentah dalam industri keramik, refraktori, dan gelas.
http://atlasnasional.bakosurtanal.go.id/Images/nonlogam/nonlogam7.PNG

C. Bahan Galian Bangunan/Konstruksi
Adalah kelompok batuan yang terdiri dari: andesit, batugamping, sirtus, tras, onik, marmer, diorit, granit, batuapung, obsidian, dan basal,. Bahan ini dipakai terutama sebagai bahan mentah dalam industri bahan bangunan/konstruksi dan ornamen.
D. Bahan Galian Batumulia dan Batuhias
Adalah kelompok komoditas mineral dan batuan yang terdiri dari oniks, kalsedon, rijang, kristal, kuarsa, opal, jasper, krisopras, kayu terkersikkan, kokal terkersikkan, garnet, jade, agat, intan, zirkon, dan topas. Bahan ini dipakai terutama dalam industri perhiasan dan kerajinan.
Secara individual, kegunaan beberapa bahan galian industri yang umum di jumpai di alam, seperti pasir batu (sirtu), pasir kuarsa, batu camping, dan lain-lainnya akan diuraikan lebih rinci dalam lampiran A.



PEMBENTUKAN BAHAN GALIAN NON LOGAM
Cikal bakal semua jenis batuan maupun bahan galian (mineral) yang membentuk kerak bumi adalah magma. Magma bersifat cair seperti bubur dan mengandung berbagai unsur kimia. Magma dapat berasal dari mantel bumi, atau berasal dari batuan kerak bumi yang meleleh kembali akibat tekanan dan temperatur tinggi pada kedalaman tertentu.
Karena sifatnya yang cair dan tempatnya yang dalam dengan tekanan dan temperatur tinggi, maka magma mempunyai kecenderungan untuk mengalir naik ke permukaan bumi melalui bagian-bagian bumi yang lemah atau retak, atau jika tekanannya cukup, magma dapat menerobos batuan lain diatasnya.
Perjalanan magma ke permukaan menyebabkan magma mengalami berbagai proses, rintangan dan interaksi dengan batuan lain yang telah ada. Proses interaksi tersebut bisa menghasilkan bahan-bahan galian yang berharga bagi manusia.
Proses-proses geologis yang terjadi dalam waktu yang singkat maupun dalam  waktu yang lama dan bahkan seringkali  diikuti oleh kegiatan tektonik yang berulang-ulang, dapat mengakibatkan terjadinya proses pembentukan mineral atau bahan galian termasuk terutama bahan galian industri. Proses-proses tersebut dapat terjadi secara lokal ataupun meliputi daerah yang sangat luas pada berbagai macam formasi batuan mulai dari yang sederhana seperti pada pembentukan pasir dan batu (sirtu) sungai sampai yang kompleks seperti pembentukan bahan galian karena proses pelapukan, kegiatan magmatis, hidroternal, diagenesis, metamorfisme, sedimentasi dan yang lainnya.
Perubahan ini dapat terjadi pada semua jenis batuan, dari yang berumur pra tersier sampai kuarter yang disebut sebagai batuan sumber atau batuan induk atau batuan pengandung bahan galian.

·      •  Logam
Mineral non logam adalah kelompok komoditas mineral yang tidak termasuk mineral logam, batubara maupun mineral energi lainnya. Mineral non logam biasa disebut juga sebagai bahan galian non logam atau bahan galian industri atau bahan galian golongan C. Bahan galian non logam mudah dicari dan pengusahaannnyapun tidak membutuhkan modal yang besar, teknologi yang rumit maupun waktu yang lama untuk eskplorasi, sehingga sangat cocok digunakan untuk mendorong perekonomian rakyat.
Berdasarkan kegunaannya, SNI 13-4688-1998 membagi mineral non logam menjadi 4 kelompok besar, yaitu:
A. Bahan Galian Aneka Industri
Adalah kelompok komoditas mineral bukan logam dan batuan yang terdiri atas batugamping, dolomit, fosfat, kalsit, zeolit, gipsum, bentonit, diatomea, barit, oker, yarosit, belerang, asbes talk, mika, dan yodium. Bahan galian aneka industri ini dipakai terutama sebagai bahan mentah dalam industri pupuk, kertas, plastik, cat, peternakan, pertanian, kosmetik, farmasi, dan kimia.


B. Bahan Galian Keramik
Adalah kelompok komoditas mineral bukan logam dan batuan yang terdiri dari lempung, toseki, felspar, kaolin, ballclay, bondclay, pasirkuarsa, batu pasirkuarsa, perlit, batuan kalium-natrium, trakhit, magnesit dan kuarsit. Bahan ini dipakai terutama sebagai bahan mentah dalam industri keramik, refraktori, dan gelas.
http://atlasnasional.bakosurtanal.go.id/Images/nonlogam/nonlogam7.PNG

C. Bahan Galian Bangunan/Konstruksi
Adalah kelompok batuan yang terdiri dari: andesit, batugamping, sirtus, tras, onik, marmer, diorit, granit, batuapung, obsidian, dan basal,. Bahan ini dipakai terutama sebagai bahan mentah dalam industri bahan bangunan/konstruksi dan ornamen.
D. Bahan Galian Batumulia dan Batuhias
Adalah kelompok komoditas mineral dan batuan yang terdiri dari oniks, kalsedon, rijang, kristal, kuarsa, opal, jasper, krisopras, kayu terkersikkan, kokal terkersikkan, garnet, jade, agat, intan, zirkon, dan topas. Bahan ini dipakai terutama dalam industri perhiasan dan kerajinan.
            Secara individual, kegunaan beberapa bahan galian industri yang umum di jumpai di alam, seperti pasir batu (sirtu), pasir kuarsa, batu camping, dan lain-lainnya akan diuraikan lebih rinci dalam lampiran A.

PEMBENTUKAN BAHAN GALIAN NON LOGAM
Cikal bakal semua jenis batuan maupun bahan galian (mineral) yang membentuk kerak bumi adalah magma. Magma bersifat cair seperti bubur dan mengandung berbagai unsur kimia. Magma dapat berasal dari mantel bumi, atau berasal dari batuan kerak bumi yang meleleh kembali akibat tekanan dan temperatur tinggi pada kedalaman tertentu.
Karena sifatnya yang cair dan tempatnya yang dalam dengan tekanan dan temperatur tinggi, maka magma mempunyai kecenderungan untuk mengalir naik ke permukaan bumi melalui bagian-bagian bumi yang lemah atau retak, atau jika tekanannya cukup, magma dapat menerobos batuan lain diatasnya.
Perjalanan magma ke permukaan menyebabkan magma mengalami berbagai proses, rintangan dan interaksi dengan batuan lain yang telah ada. Proses interaksi tersebut bisa menghasilkan bahan-bahan galian yang berharga bagi manusia.
Proses-proses geologis yang terjadi dalam waktu yang singkat maupun dalam  waktu yang lama dan bahkan seringkali  diikuti oleh kegiatan tektonik yang berulang-ulang, dapat mengakibatkan terjadinya proses pembentukan mineral atau bahan galian termasuk terutama bahan galian industri. Proses-proses tersebut dapat terjadi secara lokal ataupun meliputi daerah yang sangat luas pada berbagai macam formasi batuan mulai dari yang sederhana seperti pada pembentukan pasir dan batu (sirtu) sungai sampai yang kompleks seperti pembentukan bahan galian karena proses pelapukan, kegiatan magmatis, hidroternal, diagenesis, metamorfisme, sedimentasi dan yang lainnya.
Perubahan ini dapat terjadi pada semua jenis batuan, dari yang berumur pra tersier sampai kuarter yang disebut sebagai batuan sumber atau batuan induk atau batuan pengandung bahan galian.
Panas Bumi adalah sumber energi panas yang terkandung didalam air panas, uap air, dan batuan bersama mineral ikutan dan gas lainnya, yang secara genetik semuanya berupa suatu sistem panas bumi yang tidak dapat dipisahkan dann untuk pemanfaatannya diperlukan proses penambangan. Panas bumi dikenal sebagai sumber daya geologi yang digunakan sebagai sumber energi yang ramah lingkungan. Tidak seperti mineral dan batubara, panas bumi termasuk sumberdaya geologi yang dapat diperbaharui. Artinya sumberdaya panas bumi tidak akan pernah habis, karena proses pembentukannya berhubungan dengan proses alam yang terjadi berkesinambungan dan terus menerus. Panas bumi berasal dari kata ”geo” yang berarti bumi dan ”thermal” yang berarti panas. Secara umum panas bumi adalah sumber energi yang berasal dari panas alamiah dari dalam bumi. Bumi terdiri dari empat lapisan utama, yaitu kerak bumi (crust), mantle, outer core dan ineer core (Gambar 1), dimana masing-masing memiliki komposisi, fungsi dan temperatur yang berbeda. Temperatur yang mencapai 150 – 3700C dapat membuat mantle mancair dan menjadi magma. Magma dapat mecapai kerak bumi akibat tekanan dan convention current. Gradient geothermal menunjukan besarnya kenaikan temperatur terhadap kedalaman pada lapisan kerak bumi. Gradien goethermal rata-rata adalah 2.5 – 30C / 100m, namun keadaan tersebut akan berbeda bagi daerah yang mengandung potensi energi panas bumi. Pembentukan Sistem Panas Bumi di Indonesia Secara geologi, Indonesia terletak pada pertemuan lempeng-lempeng dunia. Posisi ini menjadikan Indonesia unik tatanan geologinya sehingga kaya akan potensi sumberdaya geologi termasuk potensi panas bumi. Penunjaman yang terjadi antara Lempeng Asia – Lempeng Hindia Australia serta antara Lempeng Asia – Lempeng Pasifik menjadikan terbentuknya suatu aliran panas yang besar dibawah permukaan sebagai sumber panas yang besar yang mengakibatkan terjadinya perubahan tekanan dan temperatur dan membentuk suatu arus panas yang merambat secara konduksi pada batuan dan merambat secara konveksi melalui fluida ke permukaan. Di Indonesia, daerah magmatik dan vuklkanik terbentang sepanjang pantai barat Sumatera hingga selatan Jawa, terus memanjang sampai daerah Bali, dan Nusa Tenggara lalu berbelok ke utara ke arah Sulawesi dan Philiphina. Keberadaan busur vulkanik menjadi landasan akan besarnya potensi panas bumi di Indonesia. Munculnya jajaran gunung api di sepanjang jalan vulkanik di Indonesia dikarenakan pembentukan daerah magmatisma hasil penunjaman lempeng seperti di daerah Sumatra, Jawa, Bali, Nusa Tenggara hingga Sulawesi yang merupakan daerah panas bumi yang berasosiasi dengan daerah gunungapi. Walaupun didaerah Sulawesi potensi panas bumi terkadang berasosiasi dengan munculnya tubuh-tubuh batuan plutonik sebagai sumber panas. Dalam pembentukan suatu sistem panas bumi diperlukan suatu sumber panas, reservoir dan fluida yang memenuhi kriteria geologi, hidrogeologi dan heat transfer yang cukup, terkonsentrasi untuk membentuk suatu energi. Sumber panas yang dimaksud adalah massa panas yang akan berinteraksi dengan sistem air tanah bawah permukaan yang terperangkap dalam zona reservior yang permeabel. Sumber panas pada umumnya berupa sisa magma atau tubuh plutonik batuan seperti batholit. Sedangkan reservoir panas bumi merupakan wadah dibawah permukaan yang bersifat sarang dan berdaya lulus terhadap fluida, dapat menyimpan fluida panas serta mempunyai temperatur dan tekanan dari sistem panas bumi. Batuan vulkanik bisa berfungsi sebagai reservoir panas bumi. Interaksi antara sumber panas dengan batuan sekitar membentuk arus konduksi, sedangkan panas yang merambat melalui fluida bawah permukaan membentuk transfer panas berupa arus konveksi. Gaya gravitasi pada fluida mempengaruhi fluida yang dingin untuk bergerak ke bawah dan mengalami kontak dengan sumber panas atau batuan penghantar panas sehingga berubah menjadi fluida panas yang memiliki masa yang lebih ringan, yang mengakibatkan naiknya fluida panas tersebut (larutan hidrotermal) ke permukaan dan merubah komposisi batuan sekitar yang dilewatinya sehingga muncul sebagai manifestasi panas bumi di permukaan setelah melewati batuan penudung. Batuan penudung (clay cap) ini berfungsi sebagai lapisan impermeable yang menahan fluida panas untuk bergerak ke permukaan. Biasanya berupa lapisan lempung atau batuan lain yang pejal yang sulit untuk meloloskan air. Munculnya manifestasi panas bumi ke permukaan dipengaruhi oleh kegiatan tektonik atau struktur geologii di daerah tersebut.
·                     •  Sumberdaya Mineral dan Energi Lepas Pantai
Sumber daya Mineral dan Energi lepas pantai adalah material anorganik homogen yang terjadi secara alamiah serta mempunyai struktur atom dan komposisi kimia tertentu. Mineral dapat dibedakan menurut karakteristiknya, yaitu berdasarkan : warna, goresan, transparansi, kekerasan, struktur kristal dan tampilan yang terletak di lepas pantai laut indonesia. Beberapa sifat keterdapatan endapan mineral, diantaranya : terdapat dalam jumlah terbatas dan tidak merata di kulit bumi, baik dari segi mutu (kualitas) maupun jumlah (kuantitas). Oleh karena itu eksplorasi mineral (logam) merupakan kegiatan bersifat padat modal, berisiko tinggi dan saat ini semakin banyak memakai teknologi tinggi (yang sudah tentu relatif memerlukan biaya yang lebih tinggi).

Pembentukan Mineral
Mineral termasuk sumberdaya alam yang tidak bisa diperbaharui serta terbentuk melalui proses geologi yang panjang. Ketika mineral habis, maka tidak ada penggantinya. Karena itu pemanfaatan mineral harus dilakukan dengan sebaik-baiknya. Magma adalah sumber dari berbagai jenis batuan dan mineral. Magma berasal dari mantel bumi atau dari batuan kerak bumi yg meleleh karena mendapat temperatur dan tekanan tinggi. Magma yang cair dan kental mengandung berbagai unsur kimia yang berasal dari mantel bumi ataupun dari batuan kerak bumi yang meleleh kembali akibat tekanan dan temperatur yang tinggi pada kedalaman tertentu. Karena sifatnya yang cair dan tempatnya yang dalam dengan tekanan dan temperatur tinggi, maka magma cenderung mengalir naik kepermukaan bumi melalui bagian-bagian bumi yang lemah, misalnya retakan. Atau jika tekanannya cukup, maka magma dapat pula menerobos batuan lain di atasnya. Dalam perjalanannya ke permukaan bumi inilah magma berinteraksi dengan batuan lain yang telah ada, sehingga membentuk berbagai mineral yang berharga bagi manusia.


Konservasi Lahan Umum
http://atlasnasional.bakosurtanal.go.id/Images/konservasi/Taman%20Nas%20Kelimutu.JPG


Berdasarkan ketentuan Undang - undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan kita mengenal mengenai hutan dan klasifikasinya, sebagai berikut : Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Pemerintah menetapkan hutan berdasarkan fungsi pokok atas : hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi Sedang dalam ketentuan Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alama Hayati dan Ekosistemnya, kita mengenal mengenai kawasan konservasi dan klasifikasinya sebagai berikut:
Kawasan Suaka Alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. Kawasan Pelestarian Alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun diperairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Kawasan taman hutan raya adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau bukan alami, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi.







Lahan Basah Umum
http://atlasnasional.bakosurtanal.go.id/Images/lahan%20Basah/Hutan%20rawa.png

Lahan basah didefinisikan sebagai daerah payau, gambut dan perairan alami maupun buatan, tetap maupun sementara dengan perairannya yang mengalir atau tergenang, tawar, agak asin maupun asin dan termasuk di dalamnya wilayah laut yang kedalamannya kurang dari 6 m pada waktu air surut paling rendah. Ekosistem lahan basah perlu dilesatarikan karena merupakan lingkungan / ekosistem paling produktif di dunia serta merupakan habitat bagi kehiidupan berbagai keanekaragaman hayati (flora dan fauna) termasuk sebagai penyedia air bersih dan gudang plasma nuftah.

Berbagai fungsi dan manfaat penting lainnya ekosistem lahan basah antara lain sebagai penyedia air bersih (daerah tangkapan air), pelindung banjir dan badai, penyeimbang daerah pantai dan pelindung erosi, penyaring dan penjernih air dari sedimentasi, nutrien dan pencemar, penyeimbang kondisi iklim local antara lain curah hujan dan suhu udara, sumber makanan dan pendapatan (perikanan, produksi kayu dan hasil hutan non kayu, dan pertanian), lokasi pendidikan dan penelitian, sumber energi serta penunjang transportasi dan parawisata.

Lahan basah dapat dibedakan berdasarkan tipenya yaitu lahan basah laut dan pesisir, lahan basah daratan dan lahan basah buatan manusia. Secara umum lahan basah dapat diklasifikasikan sebagai rawa hutan mangrove, estuaria, padang lamun, rumput laut, terumbu karang, danau, sungai, sawah dan tambak (ikan dan garam).

Rawa

Rawa merupakan sebutan untuk semua daerah yang tergenang air, yang penggenangannya dapat bersifat musiman ataupun permanen dan ditumbuhi oleh tumbuhan (vegetasi). Hutan rawa memiliki keanekaragaman hayati yang sangat kaya. Jenis-jenis floranya antara lain: durian burung (Durio carinatus), ramin (Gonystylus sp), terentang (Camnosperma sp.), kayu putih (Melaleuca sp), sagu (Metroxylon sp), rotan, pandan, palem-paleman dan berbagai jenis liana. Faunanya antara lain : harimau (Panthera tigris), Orang utan (Pongo pygmaeus), rusa (Cervus unicolor), buaya (Crocodylus porosus), babi hutan (Sus scrofa), badak, gajah, musang air dan berbagai jenis ikan. Indonesia memiliki lebih dari 23 juta ha rawa.

Jenis-jenis rawa mencakup hutan rawa air tawar, memiliki permukaan tanah yang kaya akan mineral, biasanya ditumbuhi hutan lebat. Hutan rawa gambut, terbentuk dari sisa-sisa hewan dan tumbuhan yang proses penguraiannya sangat lambat sehingga tanah gambut memiliki kandungan organic yang sangat tinggi. Rawa tanpa hutan, merupakan bagian dari ekosistem rawa hutan, namun hanya ditumbuhi tumbuhan kecil seperti semak dan rumput liar.

Manfaat hutan rawa sebagai sumber cadangan air, dapat menyerap dan menyimpan kelebihan air dari daerah sekitarnya dan akan mengeluarkan cadangan air tersebut pada saat daerah sekitarnya kering, mencegah terjadinya banjir, mencegah intrusi air laut ke dalam airtanah dan sungai, sumber energi, sumber makanan nabati maupun hewani.

Jika hutan rawa hilang maka dapat mengakibatkan kekeringan, terjadinya intrusi air laut yang masuk jauh ke daratan, terjadi banjir, hilangnya flora dan fauna yang hidupnya di rawa, berkurangnya sumber mata pencaharian penduduk sekitar.

Hutan Mangrove

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan sub tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini umumnya tumbuh pada daerah intertidal dan supratidal yang cukup mendapat aliran air, dan terlindung dari gelombang besar dan arus pasang-surut yang kuat. Oleh karena itu, hutan mangrove banyak ditemukan di pantai-pantai teluk dangkal, estuaria, delta, dan daerah pantai yang terlindung.


http://atlasnasional.bakosurtanal.go.id/Images/lahan%20Basah/hutan%20mangrove.png


Tumbuhan mangrove bersifat unik karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di laut. Umumnya mangrove mempunyai sistem perakaran yang menonjol yang disebut akar nafas (pneumatofor). Sistem perakaran ini merupakan suatu cara adaptasi terhadap keadaan tanah yang miskin oksigen atau bahkan anaerob. Zonasi hutan mangrove adalah :
  • Daerah yang paling dekat dengan laut sering ditumbuhi Avicennia dan Sonneratia. Sonneratia biasa tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organic
  • Lebih kearah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhozophora spp. Di zona ini juga dijumpai Bruguiera dan Xylocarpus.
  • Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp, selanjutnya terdapat zona transisi antara hutan mangrove dan hutan dataran rendah yang biasa ditumbuhi oleh nipah (nypa fruticans) dan pandan laut (pandanus spp).
http://atlasnasional.bakosurtanal.go.id/Images/Lahan%20Basah/hutan%20mangrove2.png




Fungsi ekologis hutan mangrove :
  • Sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung pantai dari abrasi, penahan Lumpur dan perangkap sediment yang diangkut oleh aliran permukaan
  • Hutan mangrove dimanfaatkan terutama sebagai penghasil kayu untuk bahan konstruksi, kayu baker, bahan baku untuk membuat arang, dan juga untuk dibuat bubur kertas (pulp). Disamping itu juga hutan mangrove dimanfaatkan sebagai pemasok larva ikan dan udang alam.
  • Sebagai daerah asuhan (nursery ground), daerah pencarian makanan (feeding ground) dan daerah pemijahan (spawning ground) bermacam biota perairan seperti ikan udang, dan kerang-kerangan, baik yang hidup di perairan pantai atau perairan lepas pantai.
  • Hutan mangrove juga merupakan habitat bagi beberapa satwa liar yang diantaranya terancam punah, seperti harimau sumatera (Panthera tigris sumatranensis), bekantan (Nasalis larvatus), wilwo (Mycteria cinerea), bubut hitam (Centropus nigrorufus), dan bangau tongtong (Leptoptilus javanicus, dan tempat persinggahan bagi burung-burung migran.
http://atlasnasional.bakosurtanal.go.id/Images/Lahan%20Basah/hutan%20mangrove3.png


Estuari

Estuaria adalah wilayah pesisir semi tertutup yang mempunyai hubungan bebas dengan laut terbuka dn menerima masukan air tawar dari daratan. Sebagian besar estuaria didominasi oleh substrat berlumpur yang merupakan endapan yang dibawa oleh air tawar dan air laut. Contoh dari estuaria adalah muara sungai, teluk dan rawa pasang-surut.

Tipe Estuaria :
  • Estuaria Berstratifikasi Sempurna/Nyata atau Estuaria Baji Garam: dicirikan oleh adanya batas yang jelas antara air tawar dan air laut.
  • Estuaria Berstratifikasi sebagian/Parsial: paling umum dijumpai, air tawar dan dari sungai seimbang dengan air laut yang masuk melalui pasang.
  • Estuaria Campuran Sempurna atau Estuaria Homogen Vertikal: arus pasang surut dominan dan kuat, sehingga air estuaria tercampur sempurna dan tidak terdapat stratifikasi

http://atlasnasional.bakosurtanal.go.id/Images/lahan%20basah/estuaria.png




Fungsi ekologis estuaria :
  • Sebagai sumber zat hara dan bahan organic yang diangkut lewat sirkulasi pasang surut.
  • Penyedia habitat bagi sejumlah spesies hewan yang bergantung pada estuaria sebagai tempat berlindung dan tempat mencari makanan
  • Sebagai tempat untuk berreproduksi dan/atau tumbuh besar terutama bagi sejumlah spesies ikan dan udang.
  • Pemanfaatan wilayah estuaria sebagai tempat permukiman, penangkapan dan budidaya sumberdaya ikan, transportasi, dan pelabuhan maupun kawasan industri.

http://atlasnasional.bakosurtanal.go.id/Images/lahan%20basah/hutan%20mangrove4.png


Padang lamun

Lamun (seagrass) merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang memiliki rhizome, daun dan akar sejati yang hidup terendam di dalam laut. Lamun mengkolonisasi suatu daerah melalui penyebaran buah (propagule) yang dihasilkan secara seksual (dioecious). Lamun umumnya membentuk padang lamun yang luas di dasar laut yang masih dapat dijangkau oleh sinar matahari yang memadai bagi pertumbuhannya. Lamun hidup di perairan yang dangkal dan jernih pada kedalaman berkisar antara 2 -12 meter, dengan sirkulasi air yang baik. Air yang bersirkulasi diperlukan untuk menghantarkan zat-zat hara dan oksigen, serta mengangkut hasil metabolism eke luar daerah padang lamun.

Di seluruh dunia diperkirakan terdapat sebanyak 55 jenis lamun, dimana di Indonesia ditemukan sekitar 12 jenis dominant yang termasuk ke dalam 2 famili, yaitu : Hydrocharitaceae, dan Potamogetonaceae.
http://atlasnasional.bakosurtanal.go.id/Images/lahan%20basah/tabel%20spesies.png

Tabel 1. Spesies lamun di Indonesia


Fungsi ekologis padang lamun :
  • Produsen dentrius dan zat hara
  • Mengikat sediment dan menstabilkan substrat yang lunak, dengan system parakaran yang pada dan saling mengikat
  • Sebagai tempat berlindung, mencari makan, tumbuh besar, dan memijah bagi beberapa jenis biota laut, terutama yang melewati masa dewasanya di lingkungan ini.
  • Sebagai tudung pelindung yang melindungi penghuni padang lamun dari sengatan matahari.
  • Wilayah padang lamun dimanfaatkan oleh manusia sebagai tempat kegiatan budidaya laut berbagai jenis ikan, kerang-kerangan dan tiram, dan tempat rekereasi atau pariwisata.
http://atlasnasional.bakosurtanal.go.id/Images/lahan%20basah/biota%20laut.png



http://atlasnasional.bakosurtanal.go.id/Images/lahan%20basah/biota%20laut2.png



Terumbu karang

Pada dasarnya terumbu terbentuk dari endapan-endapan masif kalsium karbonat (CaCO3), yang dihasilkan oleh organisme karang pembentuk terumbu (karang hermatipik) dari filum Cnidaria, ordo Scleractinia yang hidup bersimbiosis dengan zooxantellae, dan sedikit tambahan dari algae berkapur serta organisme lain yang menyekresi kalsium karbonat. Karang pembentuk terumbu (karang hermatipik) hidup berkoloni, dan tiap individu karang yang disebut polip menempati mangkuk kecil yang dinamakan koralit. Tiap mangkuk koralit mempunyai beberapa septa yang tajam dan berbentuk daun yang tumbuh keluar dari dasar koralit, dimana septa ini merupakan dasar penentuan spesies karang. Tiap polip adalah hewan berkulit ganda, dimana kulit luar yang dinamakan epidermis dipisahkan oleh lapisan jaringan mati (mesoglea) dari kulit dalamnya yang disebut gastrodermis. Dalam gastrodermis terdapat tumbuhan renik bersel tunggal yang dinamakan zooxantellae yang hidup bersimbiosis dengan polip. Zooxantellae dapat menghasilkan bahan organik melalui proses fotosintesis, yang kemudian disekresikan sebagian ke dalam usus polip sebagai pangan.

http://atlasnasional.bakosurtanal.go.id/Images/lahan%20basah/terumbu%20karang.png


http://atlasnasional.bakosurtanal.go.id/Images/lahan%20basah/formasi%20rangka.png





Faktor-faktor pembatas perkembangan karang :
  • Suhu air > 18° C, tapi bagi perkembangan optimal diperlukan suhu rata-rata tahunan berkisar antara 23° - 25°C, dengan suhu maksimal yang masih dapat ditolerir berkisar antara 3°- 40oC.
  • Kedalaman perairan < 50 m, dengan kedalaman bagi perkembangan optimal pada 25 m atau kurang.
  • Salinitas air yang konstan berkisar antara 30 - 36 o/oo.
  • Perairan yang cerah, bergelombang besar dan bebas dari sedimen.
http://atlasnasional.bakosurtanal.go.id/Images/lahan%20basah/karang.png

http://atlasnasional.bakosurtanal.go.id/Images/lahan%20basah/terumbu%20karang2.png

Komposisi biota terumbu karang :
  • Beraneka ragam avertebrata (hewan tak bertulang belakang) : terutama karang batu (stony coral), juga berbagai krustasea, siput dan kerang-kerangan, ekinodermata (bulu babi, anemon laut, teripang, bintang laut dan leli laut).
  • Beraneka ragam ikan : 50-70% ikan karnivora oportunistik, 15% ikan herbivora dan sisanya omnivora.

  • Reptil : umumnya ular laut dan penyu laut.
  • Ganggang dan rumput laut: algae koralin, algae hijau berkapur dan lamun.
http://atlasnasional.bakosurtanal.go.id/Images/lahan%20basah/terumbu%20karang3.png

http://atlasnasional.bakosurtanal.go.id/Images/lahan%20basah/terumbu%20karang4.png


Fungsi ekologis trumbu karang :
  • pelindung pantai dari hempasan ombak dan arus kuat yang berasal dari laut.
  • sebagai habitat, tempat mencari makanan, tempat asuhan dan pembesaran, tempat pemijahan bagi berbagai biota yang hidup di terumbu karang atau sekitarnya.
  • Sebagai tempat penangkapan berbagai jenis biota laut konsumsi, dan berbagai jenis ikan hias.
  • Bahan konstruksi bangunan dan pembuatan kapur.
  • Bahan perhiasan.
  • Bahan baku farmasi.



Danau

Danau adalah cekungan besar di permukaan bumi yang digenangi oleh air tawar ataupun asin yang seluruh cekungan tersebut dikelilingi oleh daratan. Akumulasi air di suatu danau dapat terjadi karena mencairnya gletser, aliran sungai, atau karena adanya mata air. Biasanya danau dapat dipakai sebagai sarana rekreasi, dan olahraga. Kebanyakan danau adalah air tawar dan juga banyak berada di belahan bumi utara pada ketinggian yang lebih atas.

Sebuah danau periglasial adalah danau yang di salah satunya terbentuk lapisan es, "ice cap" atau gletser, es ini menutupi aliran air keluar danau. Istilah danau juga digunakan untuk menggambarkan fenomena seperti Danau Eyre, di mana danau ini kering di banyak waktu dan hanya terisi pada saat musim hujan. Banyak danau adalah buatan dan sengaja dibangun untuk penyediaan tenaga listrik-hidro, rekreasi (berenang, selancar angin, dll), persediaan air, dll.

Berdasarkan proses terjadinya, danau dibedakan :
  1. danau tektonik yaitu danau yang terbentuk akibat penurunan muka bumi karena pergeseran / patahan
  2. yaitu danau yang terbentuk akibat aktivitas vulkanisme / gunung berapi danau vulkanik
  3. danau tektovulkanik yaitu danau yang terbentuk akibat percampuran aktivitas tektonisme dan vulkanisme
  4. danau bendungan alami yaitu danau yang terbentuk akibat lembah sungai terbendung oleh aliran lava saat erupsi terjadi
  5. danau karst yaitu danau yang terbentuk akibat pelarutan tanah kapur
  6. danau glasial yaitu danau yang terbentuk akibat mencairnya es / keringnya daerah es yang kemudian terisi air
  7. danau buatan yaitu danau yang terbentuk akibat aktivitas manusia >

Sungai

Sungai dapat diartikan sebagai cekungan di permukaan bumi yang berbentuk memanjang dan terisi oleh air mengalir ke tempat yang lebih rendah dan bermuara ke laut. Sungai berubah dari waktu ke waktu. siklus kehidupan sungai dimulai ketika tanah baru muncul di atas permukaan laut. Hujan kemudian mengikisnya dan membuat parit, kemudian parit-parit itu bertemu sesamanya dan membentuk sungai. Danau menampung air pada daerah yang cekung, tapi kemudian hilang sebagai sebagai sungai dangkal. Kemudian memperdalam salurannya dan mengiris ke dasarnya membentuk sisi yang curam, lembah bentuk V. Anak-anak sungai kemudian tumbuh dari sungai utamanya seperti cabang tumbuh dari pohon. Semakin tuan sungai, lembahnya semakin dlam dan anak-anak sungainya semakin panjang.
http://atlasnasional.bakosurtanal.go.id/Images/lahan%20basah/Penampang%20Sungai.png

Sungai

Sawah adalah usaha pertanian yang secara fisik permukaan tanahnya rata, dibatasi oleh pematang, dapat ditanami padi dan palawija atau tanaman pangan lainnya. Untuk mengairi sawah digunakan sistem irigasi,misalnya sawah yang bertingkat-tingkat, atau melalui saluran pengairan (irigasi) yang diatur sedemikan rupa hingga setiap petak sawah dapat memperoleh air.

Tambak

Sebuah tambak udang adalah sebuah bisnis "aquaculture" dirancang untuk meningkatkan dan memproduksi udang laut atau prawn untuk konsumsi manusia. Pertambakan udang komersial dimulai pada 1970-an, dan produksi tumbuh dengan cepat, terutama untuk memenuhi pertumbuhan permintaan Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa barat. Produksi global total dari udang tambak mencapai lebih dari 1,6 juta ton pada 2003, mewakili hampir 9 milyar dolar AS. Sekitar 75% udang tambak diproduksi di Asia, terutama di China dan Thailand. 25% sisanya diproduksi di Amerika Latin, di mana Brazil merupakan produsen terbesarnya. Negara pengekspor terbesar adalah Thailand.

Pertambakan udang telah berubah dari bisnis tradisional, skala-kecil di Asia Tenggara menjadi sebuah bisnis global. Kemajuan teknologi telah mendorong pertumbuhan udang dengan kepadatan yang lebih tinggi, dan broodstock dikapalkan ke seluruh dunia. Hampir seluruh udang yang dikembangkan adalah penaeid (yaitu, udang dari famili Penaeidae) dan hanya dua spesies udang -- Pacific White Shrimp dan Giant Tiger Prawn; hampir mencakup 80% dari seluruh udang yang dikembangkan. Industri monokultur ini sangat mudah terserang penyakit, yang menyebabkan beberapa pemusnahan dari populasi pertambakan udang. Peningkatan masalah ekologi, terjadinya penyebaran penyakit berkali-kali, dan tekanan dan kritikan dari NGO dan negara konsumen mengubah industri ini pada akhir 1990-an dan biasanya pengaturan yang lebih ketat dari pemerintah. Pada 1999, sebuah program yang ditujukan pada pengembangan dan promosi praktek pertambakan yang lebih terjamin dilaksanakan, termasuk badan pemerintah, wakil industri, dan organsiasi lingkungan.

Penutup Lahan

Penutup lahan sebagian besar didominasi oleh hutan. Klasifikasi hutan yang digunakan untuk disajikan pada Atlas ini mencakup semua jenis hutan seperti misalnya hutan primer, sekunder, lindung, produksi dan jenis hutan lainnya. Selain tutupan hutan Pulau Borneo juga banyak memiliki tutupan lahan berupa semak belukar, lahan pertanian, rawa, dan sebagainya. Di sekitar kota Pontianak, Palangkaraya, Singkawang, Banjarmasin dapat dilihat adanya daerah terbangun yang menunjukkan kegiatan pembangunan di luar ibukota provinsi tersebut mulai berlangsung. Jenis tutupan lahan yang juga agak dominan berupa lahan basah yang berupa rawa, danau, dsb.
Rawan Bencana
Selain mengandung potensi sumberdaya alam yang cukup berlimpah, Indonesia juga merupakan wilayah rawan bencana. Bencana gempabumi, banjir, longsor, bahaya gunung api, tsunami dan lain sebagainya merupakan beberapa bencana yang terjadi di Indonesia. Beberapa jenis bencana gempa bumi, tsunami, letusan gunung api merupakan bencana almiah yang memang sulit dikendalikan manusia. Di sisi lain bencana banjir, tanah longsor, tidak dapat dilepaskan sepenuhnya dari aktivitas manusia terhadap bumi (land). Zonasi rawan bencana di wilayah Indonesia ditampilkan pada atlas sebagai salah satu media infomasi.

Sejarah Pusat Sumber Daya Geologi
Masa Penjajahan Belanda
1850 :  Dienst Van Het Mijnwezen.
1863 :  Dienst Van Het Mijnwezen digabung ke Direktie Der Budgelijke Openbara Wereken.
1866 :  Dienst Van Het Mijnwezen masuk ke Departemen Van Onderwijs.
1929 :  Dienst Van Het Mijnwezen berubah menjadi Geologische Museum Bandoeng.
Masa Penjajahan Jepang
1942 :  Dienst Van Het Mijnwezen berubah menjadi Kogyoo Zimussho.
1943 :  Kogyoo Zimussho berubah menjadi Chisitu Chosajo : Chisitu Kakari/Perpetaan, Kosan Kakari/Gunung api, Seizu Kakari/Kartografi. 

Republik Indonesia
1945 :  11-9-1945  Dibentuk Jawatan Tambang dan Geologi, Kementerian Kemakmuran.
1952 :  Pusat Jawatan Geologi, Direktorat Pertambangan, Kementerian Perekonomian.
1957 :  Direktorat Pertambangan menjadi Jawatan Pertambangan dan Jawatan Geologi, Departemen Perindustrian Dasar.
1962 : Jawatan Pertambangan dan Jawatan Geologi berubah  menjadi Direktorat Geologi dan Direktorat Pertambangan, Departemen Pertambangan.
1979 : Direktorat Geologi, Direktorat Jenderal Pertambangan Umum (DJPU) yang terdiri dari : Direktorat Sumberdaya Mineral (DSM), Direktorat Geologi Tata Lingkungan (DGTL), Direktorat Vulkanologi (DV), Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi (PPPG), Departemen Pertambangan dan Energi (DPE).
1985 : Direktorat Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral (DJGSM) yang terdiri dari : DSM, DGTL, DV, PPPG, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan (PPGL), Departemen Pertambangan dan Energi (DPE).
2001 : DJGSM gabung dengan eks DJPU yang terdiri dari : DSM yang berubah menjadi Direktorat Inventarisasi Sumber Daya Mineral (DIM), Direktorat Geologi Tata Lingkungan dan Kawasan Pertambangan (DGTLKP), Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana (DVMB), Direktorat Teknik Mineral dan Batubara (DTMB), Direktorat Pengusahaan Mineral dan Batubara (DPMB), Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM).
2005 : DIM berubah menjadi Pusat Sumber Daya Geologi (PMG) di bawah Badan Geologi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM). Unit lain di bawah Badan Geologi adalah : Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVG), Pusat Lingkungan Geologi (PLG), Pusat Survei Geologi (PSG).

Tabel Komoditi Logam
Tabel Komoditi Logam
Kode
Nama Komoditi
Nama Komoditi (English)
keterangan
Hg
Air Raksa
Mercury
Logam Dasar
Al
Alumunium
Alumunium
Logam Ringan & Langka
Sb
Antimon
Antimony
Logam Dasar
Ba
Bauksit
Bauxite
Logam Ringan & Langka
Be
Berilium
Berilium
Logam Ringan & Langka
Fe
Besi
Iron
Logam Besi & Paduan Besi
Fe Lat
Besi laterit
Iron Laterit
Logam Besi & Paduan Besi
Bi
Bismut
Bismuth
Logam Dasar
Au
Emas
Gold
Logam Mulia
Au Pla
EmasPlaser
Placer Gold
Logam Mulia
Au alu
Emas Alluvial
Alluvial Gold
Logam Mulia
Ga
Galium
Galium
Logam Ringan & Langka
Cd
Kadnium
Kadnium
Logam Ringan & Langka
Pt
Kelompok Platina
Platinum Group
Logam Mulia
Co
Kobal
Cobalt
Logam Besi & Paduan Besi
Cr
Krom
Chromium
Logam Besi & Paduan Besi
Li
Litium
Litium
Logam Ringan & Langka
Re
Logam Tanah Jarang
Nare Earth Element
Logam Ringan & Langka
Ln
Ludium
Ludium
Logam Ringan & Langka
Mg
Magnesium
Magnesium
Logam Ringan & Langka
Mn
Mangan
Manganese
Logam Besi & Paduan Besi
Mo
Molibden
Molybdenum
Logam Besi & Paduan Besi
Ce
Monasit
Monazite
Logam Ringan & Langka
Ni
Nikel
Nickel
Logam Besi & Paduan Besi
Fe Pla
PasirBesi
Ironstone
Logam Besi & Paduan Besi
Ag
Perak
Silver
Logam Mulia
Pt
Platina
Platinum
Logam Mulia
Zn
Seng
Zink
Logam Dasar
Ta-Nb
Tantalum – Niobium
Tantalum – Niobium
Logam Ringan & Langka
Cu
Tembaga
Copper
Logam Dasar
Th
Thorium
Thorium
Logam Ringan & Langka
Sn
Timah Putih
Tin
Logam Dasar
Pb
Timbal
Lead
Logam Dasar
Ti
Titanium
Titanium
Logam Ringan & Langka
Ti La
TitanLaterit
Lateritic Titan
Logam Ringan & Langka
Ti Pla
TitanPlaser
Placer Titan
Logam Ringan & Langka
U
Uranium
Uranium
Logam Ringan & Langka
V
Vanadium
Vanadium
Logam Besi & Paduan Besi
W
Wolfram
Tungsten
Logam Besi & Paduan Besi
Y
Ytrium
Ytrium
Logam Ringan & Langka
Zr
Zirkonium
Zirkonium
Logam Ringan & Langka

Tabel Komoditi Mineral Non Logam
Tabel Komoditi Mineral Non Logam
Kode
Nama Komoditi
Nama Komoditi (English)
keterangan
agt
Agat/akik
Agate
Batumulia dan batuhias
An
Andesit
Andesite
Mineral Bahan Bangunan
Asb
Asbes
Asbes
Mineral Non Logam Industri
Ba
Barit
Barite
Mineral Non Logam Industri
Bs
Basalt
Basalt
Mineral Bahan Bangunan
Pu
Batu Apung
Pumice
Mineral Bahan Bangunan
Bb
Batuan Beku Lainnya
Ultrabasa
Mineral Bahan Bangunan
Na
Batuan Kalium Natrium
Natrium
Mineral Keramik
Ls
Batugamping
Limestone
Mineral Non Logam Industri
orn
Batuhias
Ornamental Stones
Batumulia dan batuhias
Sl
Batusabak
Slate
Batumulia dan batuhias
S
Belerang
Sulphur
Mineral Non Logam Industri
Btn
Bentonit
Bentonite
Mineral Non Logam Industri
Bo
Bond Clay / Ball Clay
Bond Clay / Ball Clay
Mineral Keramik
Da
Dasit
Dacite

Dt
Diatomea
Diatomea
Mineral Non Logam Industri
Dio
Diorit
Diorite
Mineral Bahan Bangunan
Do
Dolomit
Dolomite
Mineral Non Logam Industri
Fl
Felspar
Feldspar
Mineral Keramik




P
Fosfat
Phosphate
Mineral Non Logam Industri
Gb
Gabro
Gabro
Batumulia dan batuhias
gar
Garnet
Garnet
Batumulia dan batuhias
Gr
Granit
Granite
Mineral Bahan Bangunan
Grano
Granodiorit
Granodiorite
Batumulia dan batuhias
Gy
Gypsum
Gypsum
Mineral Non Logam Industri
di
Intan
Diamond
Batumulia dan batuhias
jad
Jade/Giok
Jade
Batumulia dan batuhias
ja
Jasper
Jasper
Batumulia dan batuhias




cha
Kalsedon/ kecubung/ ametis
Chalcedony
Batumulia dan batuhias
Ca
Kalsit
Calcite
Mineral Non Logam Industri
Ka
Kaolin
Kaolin
Mineral Keramik
sil
Kayu Terkersikan
Silicified Wood
Batumulia dan batuhias
ckr
Krisopras
Chrysoprase
Batumulia dan batuhias
Q
Kristal Kuarsa
Quarz Sand
Batumulia dan batuhias
Qz
Kuarsit
Kuarsit
Mineral Keramik
Cly
Lempung
Clay
Mineral Keramik
Mgs
Magnesit
Magnesite
Mineral Keramik
Ma
Marmer
Marble
Mineral Bahan Bangunan
Mi
Mika
Mika
Mineral Non Logam Industri
Ob
Obsidian
Obsidian
Mineral Bahan Bangunan




Och / ya
Ocher / Yarosite
Ocher / Yarosite
Mineral Non Logam Industri
On
Onik
Onyx
Mineral Bahan Bangunan
op
Opal
Opal
Batumulia dan batuhias
Si
Pasir Kuarsa
Silika
Mineral Keramik
Pe
Perlit
Perlite
Mineral Keramik
Pph
Pirofilit
Pyrophillyte
Mineral Keramik
ch
rijang
Chert
Batumulia dan batuhias
ser
Serpentin
Serpentin
Batumulia dan batuhias
Gra
Sirtu
Gravel, Sand
Mineral Bahan Bangunan
Tl
Talk
Talc
Mineral Non Logam Industri
top
topas
topaz
Batumulia dan batuhias
To
Toseki
Toseki
Mineral Keramik
Tr
Trakhit
Trakhite
Mineral Keramik
Tra
Tras
Trass
Mineral Bahan Bangunan
Trv
Travertin
Travertin
Batumulia dan batuhias
ub
Ultrabasa
Ultrabasa
Batumulia dan batuhias




I
Yodium
Iodine
Mineral Non Logam Industri
Ze
Zeolit
Zeolite
Mineral Non Logam Industri
zr
Zirkon
zircon
Batumulia dan batuhias
Sumber: www.dim.esdm.go.id/makalah/Presentasi_Singkil(Zulfikar).pdf Reza, Kelompok Kerja Mineral,PMG













Contoh Kasus:
Prospeksi Mineral Logam Di Kabupaten Buru Selatan, Provinsi Maluku
Prospeksi Mineral Logam
Di Kabupaten Buru Selatan, Provinsi Maluku

Franklin
Kelompok Program Penelitian Mineral

SARI

Kabupaten Buru/Buru Selatan merupakan salah satu kawasan di luar Busur Banda (jalur gunung api) dengan formasi geologi bervariasi antara batuan sedimen dan metamorfik. Satuan litostratigrafi Kabupaten Buru Selatan disusun oleh batuan metamorfosa/malihan regional dinamotermal yang berumur Pra Tersier (Permo) yang ditutup oleh batuan sedimen baik selaras maupun tidak selaras di atasnya serta batuan terobosan/intrusi yang memotong batuan metamorfosa dan batuan sedimen di atasnya. Adanya poros lipatan (antiklin dan sinklin) dan tekanan gaya kompresional menyebabkan terjadinya sesar normal/turun tensional dan pasangannya (shear fault) ditambah dengan tingkat rekahan yang sangat intensif diharapkan menjadi faktor pengontrol adanya pembentukan minerali di wilayah ini. Indikasi pemineralan berdasarkan hasil analisis kimia terhadap conto batuan menunjukkan di daerah Waemese emas 6 gr/ton, As 2,6 gr/ton dan Hg 5,7 gr/ton. Conto lainnya Au 0,41 gr/ton, As 1,3 gr/ton dan Hg 0,3 gr/ton. Angka ini cukup berarti dan logam yang terkandung berasal dari batuan yang bersifat hydrous Iron Oxyde yang sifat pemineralannya adalah pengisian pada retakan-retakannya yang telah mengalami ubahahan. Conto batuan ini singkapannya cukup luas dan berdasarkan hasil analisis kimia didukung oleh hasil analisis mineragrafi untuk sementara daerah tersebut diperkirakan zona prospek untuk diteliti lebih lanjut

PENDAHULUAN

Berdasarkan hasil penyelidikan terdahulu (PT. Nusa Namrole Mining, 1988) ditemukan anomali geokimia Cu, Pb, Zn Au dan Hg dan emas dalam konsentrat dulang di beberapa aliran sungai di P. Buru bagian selatan dan laporan dari pemetaan yang telah dilakukan di Pulau Buru, bahan galian yang ditemukan yaitu mangan, batugamping, batulempung dan bahan bangunan. Mangan ditemukan di utara Kampung Waturen (Tanjung Ftulat) berupa lapisan tipis setebal 5 cm dalam batugamping pada Formasi Kuma. Untuk mengetahui potensi serta kemungkinan ditemukannya lokasi mineralisasi logam berdasarkan data awal tersebut, maka Pusat Sumber Daya Geologi melaksanakan kegiatan prospeksi mineral logam di Kabupaten Buru Selatan, Provinsi Maluku pada tahun anggaran 2009.

Secara administrasi wilayah prospeksi berada pada Kabupaten Buru Selatan yang ibukotanya Namrole, Provinsi Maluku (Gambar 1) dengan luas ? 375.700 Ha.

Koordinat geografis daerah penyelidikan ini adalah 1250 59’34” ~ 1270 14’ 52” Bujur Timur dan -30 18’ 3” ~ -30 54’ 20” Lintang Selatan.
Geologi Daerah Penyelidikan
Morfologi
Kondisi Geomorfologi Kabupaten Buru Selatan dan pulau-pulau kecil lainnya yang termasuk ke dalam Kabupaten Buru Selatan dikontrol oleh geologi regional Provinsi Maluku yang wilayahnya merupakan ujung barat Busur Kepulauan Non Magmatik dari Lingkaran Sirkum Pasifik. Oleh karena itu Kabupaten Buru Selatan dapat dikelompokkan ke dalam beberapa satuan geomorfologi seperti berikut (Gambar 1 dan Foto 1)
•    Satuan geomorfologi pegunungan lipatan patahan yang menempati wilayah bagian tengah Kepulauan Buru;
•    Satuan geomorfologi punggungan homoklin yang meliputi wilayah bagian utara dan selatan Kepulauan Buru;
•    Satuan geomorfologi lembah dan bantaran sungai yang mengikuti lembah sungai-sungai besar juga menjadi wilayah permukiman

Stratigrafi
Berdasarkan hasil survey di lapangan daerah penyelidikan disusun oleh jenis batuan sebagai berikut.

Formasi Wahlua (Pzw), batuan malihan derajat menengah, berfasies dari sekis hijau sampai amfibolit bawah, filit, batupasir metaarkosa, kuarsit dan pualam, urat kuarsa bukan hasil magma (Foto 2). Di dalam sayatan tipis batuan ini holokristalin, menunjukkan tekstur granoblastik, struktur foliasi/skistositi dan liniasi, berbutir halus hingga berukuran 0,5 mm, bentuk xenoblast, disusun oleh mineral – mineral kuarsa, muskovit/serisit, tremolit-aktinolit dan sedikit mineral opak serta zirkon. Kuarsa, tak berwarna, berukuran hingga 0,5 mm, bentuk butir xenoblast, hubungan antar butirnya saling bertautan, menunjukkan pemadaman bergelombang, sebagian besar kuarsa mengelompok. Muskovit/serisit, tak berwarna, berbutir sangat halus hingga berukuran 0,1 mm, terdapat mengelompok membentuk liniasi/foliasi dan perulangan dengan mineral-meral kuarsa, umumnya berbentuk tabular/xenoblast.

Formasi Rana (Pzr), filit, batu sabak, metaarkosa, metagrewake dan pualam, urat kuarsa (Foto 3). Di dalam sayatan tipis batuan ini menunjukkan tekstur klastik, berbutir halus hingga berukuran 0,3 mm, kemas terbuka, terpilah buruk, menyudut tanggung-membundar, sedikit berongga/sarang, terdiri dari fragmen – fragmen fosil didalam masadasar mikrokristalin karbonat. Pada beberapa bagian tampak mineral kalsit yang mengisi rekahan – rakahan membentuk urat-urat halus yang berpotongan, sedangkan mineral opak terdapat menyebar. Fragmen Fosil, berukuran hingga 0,3 mm,  sebagian besar fosil nampak utuh dan sebagian berupa pecahan – pecahan yang menyudut, jenis fosil foriminifera, disusun oleh mikrokristalin kalsit yang berwarna terang, sebagian lagi nampak kusam hingga mendekati opak. Mineral opak, berwarna hitam kecoklatan, berbutir sangat halus, kedap cahaya, terdapat menyebar dalam jumlah sangat sedikit (trace). Masa dasar terdiri dari mikrokristalin karbonat dan fragmen – fragmen fosil berbutir halus, tak berwarna, agak kusam, selain itu terdapat urat halus kalsit yang saling berpotongan.

Formasi Ghegan (TRg), batugamping dolomit, kalkareus dan serpih serta napal, serpih umumnya berbitumen (Foto 4).

Formasi Dalan (TRd), metabatupasir, batuserpih, serpentinit, batulanau, rijang, napal dan konglomerat (Foto 5).
Formasi Mefa (Jm), terdiri dari basal dan tufa yang dicirikan oleh adanya lava berstruktur bantal dan terobosan diabas

Di dalam sayatan tipis batuan ini menunjukkan tekstur porfiritik, intersertal dan intergranular, berbutir halus hingga berukuran 5 mm, bentuk anhedral – subhedral, disusun oleh relik-relik fenokris plagioklas dan piroksen di dalam masa dasar mikrolit plagioklas, mikrogranular piroksen, mineral opak, sedikit gelas dan mineral-mineral sekunder, sedangkan karbonat nampak membentuk urat-urat halus, terdapat xenoliths batuan kuarsit. Piroksen, sebagai fenokris dan masa dasar, berwarna hijau pucat, berbutir sangat halus hingga berukuran 2,5 mm, bentuk anhedral-subhedral, beberapa individu berbentuk euhedral, sedikit pleokroisme, membentuk tekstur intergranular dengan butiran – butiran halus plagioklas dan mineral opak, sebagian piroksen terubah kuat ke tremolit-aktinolit-klorit. Mineral Opak, berwarna hitam, kedap cahaya, berbutir sangat halus, bentuk anhedral, tersebar merata didalam masa dasar, bersama mikrolit plagioklas dan gelas, berwarna coklat pucat, tampak isotrop. Kuarsit, sebagai xenolit, berukuran hingga 5 mm, tak berwarna, disusun oleh mikrogranular kuarsa, hubungan antar butirnya saling bertautan, menunjukkan pemadaman bergelombang, disertai sedikit karbonat terutama mengisi rekahan antar butir. Mikrolit plagioklas, sebagai masadasar, tak berwarna, berbutir sangat halus, berbentuk anhedral – subhedral, menunjukkan kembar karlsbad, tersebar bersama piroksen, mineral opak, karbonat, gelas, membentuk tektur intergranular dan intersertal.

Formasi Kuma (MTk), dicirikan oleh konglomerat aneka bahan yang komponennya berasal dari batuan Trias tersebut.

Formasi Waeken (Tomw), terdiri dari napal, napal pasiran dan kalsilutit. Napal merupakan unsur utama satuan, berlapis tebal. Di dalam sayatan tipis batuan ini telah mengalami deformasi kataklastik, menunjukkan tekstur porphyroclasts dan foliasi, berbutir halus hingga berukuran 1 mm, bentuk butir menyudut, disusun oleh fragmen – fragmen kuarsa dan urat kuarsa dengan sedikit garnet didalam masa dasar serisit-klorit-mikrogranular kuarsa, selain itu terdapat mineral opak/oksida besi mengisi rekahan-rekahan halus dan tersebar. Tampak urat kuarsa memotong masa batuan. Kuarsa, terdapat sebagai fragmen, sebagian membentuk urat/mengisi rongga-rongga dan tersebar membentuk masa dasar berupa mineral mikrogranular/ mikrokristalin, tidak berwarna, berbutir halus hingga berukuran 1 mm, bentuk butir menyudut, menunjukkan foliasi/liniasi dan pemadaman bergelombang, setempat antar butiranya saling bertautan, bagian tepi mineralnya tampak bergerigi. Garnet, sebagai fragmen, berwarna coklat pucat, berukuran 0,5 mm, bentuk butir menyudut, retak-retak halus diisi kuarsa, menunjukkan relief tinggi, tampak isotrop. Mineral Opak, berwarna hitam kecoklatan, berbutir halus hingga berukuran 0,1 mm, bentuk butir menyudut, kedap cahaya, tersebar, sebagian mengisi rekahan dan membentuk masa dasar, mengalami oksidasi menjadi oksida besi. Masa dasar, terdiri dari serisit, tidak berwarna, berupa agregat-agegat halus berserabut, mengisi celah-celah antar mineral, bercampur dengan mikrogranular/mikrokristalin kuarsa.

Formasi Wakatin (Tmw), terdiri dari batuan gunungapi bersusunan andesit dengan sisipan grewake.

Formasi Hotong(Tmh), batuan klastika turbidit seperti batupasir serpihan, batulempung, batulanau dan batugamping konglomeratan.

Formasi Ftau (Tmfv), terdiri dari batuan gunungapi bersusunan andesit dengan sisipan grewake (Foto 11).

Formasi Leko (Tpl), terdiri dari batuan klastika laut dangkal seperti, konglomerat, batupasir dan batugamping (Foto 12).

Batuan Gunungapi Ambalau (Tpa), terobosan andesit biotit. Satuan ini tidak tersingkap di daerah penelitian.
Undak Pantai (Ql), terdiri dari kerikil, kerakal, pasir, lumpur dan batugamping terumbu .

Batugamping Terumbu (Qt), berwarna putih dan kelabu sebahagian menghablur kembali, koral melimpah juga koral melimpah.(Foto 14).

Aluvium (Qa), terdiri dari, kerikil, kerakal, pasir lumpur dan lempung. Umumnya tersebar di sekitar pantai (Foto 15).

Struktur
Poros lipatan (antiklin dan sinklin) yang berarah baratlaut – tenggara menunjukkan bahwa tekanan gaya kompresional berasal dari timurlaut – baratdaya untuk batuan yang berumur Pra Tersier. Kemudian pada Tersier pola arah umum perlipatan menjadi timur – barat, yang berarti bahwa arah gaya kompresional berarah utara – selatan, hal ini menunjukkan adanya rotasi dari Pra Tersier ke Tersier.

Di desa Lena, dijumpai sekis dan filit yang tersesarkan dan pada bidang foliasi terbentuk urat kuarsa namun tidak termineralisasi

Di hulu Sungai Waitina Kecamatan Namrole ditemukan juga gejala perlipatan dan pensesaran pada sekis namun tidak ditemuka adanya urat-urat kuarsa yang terbentuk.

Potensi Bahan Galian Logam Kabupaten Buru Selatan
Kabupaten Buru/Buru Selatan merupakan salah satu kawasan di luar Busur Banda (jalur gunung api) dengan formasi geologi bervariasi antara batuan sedimen dan metamorfik. Satuan litostratigrafi Kabupaten Buru Selatan disusun oleh batuan metamorfosa/ malihan regional dinamotermal yang berumur Pra Tersier (Permo) yang ditutup oleh batuan sedimen baik selaras maupun tidak selaras di atasnya serta batuan terobosan/intrusi yang memotong batuan metamorfosa dan batuan sedimen di atasnya. Adanya poros lipatan (antiklin dan sinklin) dan tekanan gaya kompresional menyebabkan terjadinya sesar normal/turun tensional dan pasangannya (shear fault) ditambah dengan tingkat. rekahan yang sangat intensif diharapkan menjadi faktor pengontrol adanya pembentukan minerali di wilayah ini. Hasil penyelidikan lapangan di daerah prospeksi ini tidak menemukan adanya batuan terobosan yang diharapkan menjadi sumber atau tempat kedudukan mineralisasi. Di lokasi Tanjung Patbana – Waisama ditemukan urat kuarsa yang mengandung oksida/sulfida besi dan pada zona metamorf ditemukan pirt-pirit halus. Mineral-mineral tersebut diduga bukan disebabkan oleh adanya aktivitas hidrotermal. Pada batuan sekis dan filit yang terkena tektonik terbentuk urat-urat kuarsa namun tidak mengandung mineral dan juga terbentuk milonitisasi berupa lempung, indikasi ini dijumpai di Namrole. Di Leksula tidak ditemukan batuan yang termineralisasi dan daerah ini umumnya didominasi oleh batuan sedimen.

Indikasi pemineralan berdasarkan hasil analisis kimia terhadap 17 conto batuan menunjukkan di daerah Waemese pada conto (BSW 30 Ra) mengandung emas 6 gr/ton, As 2,6 gr/ton dan Hg 5,7 gr/ton. Conto lainnya BSW 30 Rd Au 0,41 gr/ton, As 1,3 gr/ton dan Hg 0,3 gr/ton. Angka ini cukup berarti dan logam yang terkandung berasal dari batuan yang bersifat hydrous Iron Oxyde yang sifat pemineralannya adalah pengisian pada retakan-retakannya yang telah mengalami ubahahan. Conto batuan ini singkapannya cukup luas dan berdasarkan hasil analisis kimia didukung oleh hasil analisis mineragrafi untuk sementara daerah tersebut diperkirakan zona prospek untuk diteliti lebih lanjut.
Berdasarkan indikasi 30 conto endapan sungai aktif yang telah di analisis di derah prospeksi, nilai kandungan logam tertinggi Cu 41ppm, Pb 42 ppm, Zn 99 ppm, Mn 859 ppm, Fe 3,51%, Au 56 ppb, Ag 39 ppm, As 14 ppm, Sb 92 ppm dan Hg 178 ppm serta Ti 0,64%. Angka-angka tersebut tidak terakumulasi pada satu zona/titik dan atau pada satu cekungan dengan demikian sulit untuk memastikan apakah daerah prospeksi ini merupakan zona anomali logam atau tidak.

Hasil conto 12 konsentrat dulang yang dianalisis kimia menunjukkan ada beberapa titik penyontoan yang nilai kandungan logamnya cukup berarti seperti di daerah Namrole (conto BSN 021P) yang kandungan emasnya 0,64 gr/ton, Ag 4 ppp dan As 160 ppm. Daerah lainnya yaitu di Waemese (conto BSW 025P) yang kandungan emasnya 0,57 gr/ton, Ag 1 ppm, As 4 ppm dan Sb 2 ppm. Hasil analisis ini mendukung hasil analisis kimia batuan sebelumnya yang menyatakan bahwa daerah waemese diperkiraan adalah zona prospek.

Dari 29 conto pendulangan mineral berat, hanya satu conto yang memperlihatkan hadirnya butiran emas (1 VFC) yaitu di daerah Waemese (conto BSW 034P). Indikasi ini juga mendukung dugaan bahwa daerah Waemese merupakan zona prospek.
Dengan demikian berdasarkan hasil analisis kimia dan fisika yang telah dilakukan terhadap conto-conto yang diperoleh di lapangan serta uraiannya dapat disimpulkan bahwa daerah prospeksi Kabupaten Buru Selatan ini, bahan galian logam yang relatif memiliki prospek yaitu di daerah Waemese.



PEMBAHASAN

Interpretasi Model Endapan
Dari hasil penyelidikan lapangan dan didukung oleh hasil analisis laboratorium, model endapan yang terjadi di daerah prospeksi ini diperkirakan berasal dari suatu terobosan yang membawa larutan hidrotermal naik melalui jalur patahan yang memotong batuan metasedimen kemudian pada temperatur dan kedalaman tertentu larutan tersebut terendapkan bersama logam-logam tertentu sementara larutan sisa terus naik kepermukaan membentuk urat-urat kuarsa. Gambaran interpretasi tersebut dapat dilihat pada gambar 8.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil analisis kimia terhadap conto batuan menunjukkan Indikasi pemineralan di daerah Waemese emas 6 gr/ton, As 2,6 gr/ton dan Hg 5,7 gr/ton. Conto lainnya Au 0,41 gr/ton, As 1,3 gr/ton dan Hg 0,3 gr/ton. Angka ini cukup berarti dan logam yang terkandung berasal dari batuan yang bersifat hydrous Iron Oxyde yang sifat pemineralannya adalah pengisian pada retakan-retakannya yang telah mengalami ubahan. Conto batuan ini singkapannya cukup luas dan berdasarkan hasil analisis kimia didukung oleh hasil analisis mineragrafi untuk sementara daerah tersebut diperkirakan zona prospek untuk diteliti lebih lanjut. Berdasarkan indikasi conto endapan sungai aktif yang telah di analisis di derah prospeksi, nilai kandungan logam tertinggi Cu 41ppm, Pb 42 ppm, Zn 99 ppm, Mn 859 ppm, Fe 3,51%, Au 56 ppb, Ag 39 ppm, As 14 ppm, Sb 92 ppm dan Hg 178 ppm serta Ti 0,64%. Angka-angka tersebut tidak terakumulasi pada satu zona/titik dan atau pada satu cekungan dengan demikian sulit untuk memastikan apakah daerah prospeksi ini merupakan zona anomali logam atau tidak.

Hasil conto konsentrat dulang yang dianalisis kimia menunjukkan ada beberapa titik pemercontoan yang nilai kandungan logamnya cukup berarti seperti di daerah Namrole yang kandungan emasnya 0,64 gr/ton, Ag 4 ppp dan As 160 ppm. Daerah lainnya yaitu di Waemese yang kandungan emasnya 0,57 gr/ton, Ag 1 ppm, As 4 ppm dan Sb 2 ppm. Hasil analisis ini mendukung hasil analisis kimia batuan sebelumnya yang menyatakan bahwa daerah Waemese diperkirakan adalah zona prospek. Dari conto pendulangan mineral berat, hanya satu conto yang memperlihatkan hadirnya butiran emas (1 VFC) yaitu di daerah Waemese. Indikasi ini juga mendukung dugaan bahwa daerah Waemese merupakan zona prospek.

Dengan demikian berdasarkan hasil analisis kimia dan fisika yang telah dilakukan terhadap conto-conto yang diperoleh di lapangan serta uraiannya dapat disimpulkan bahwa daerah prospeksi Kabupaten Buru Selatan ini, bahan galian logam yang relatif memiliki prospek yaitu di daerah Waemese.

Berdasarkan hasil penyelidikan ini, maka daerah prospeksi Kabupaten Buru Selatan terutama daerah Waemese perlu dilakukan kegiatan eksplorasi.

Melihat kondisi geologi dan sebaran litologi di Kabupaten Buru Selatan ini, maka disarankan juga untuk diselidiki potensi bahan galian non logam (bahan galian industri). Kondisi ini didukung oleh melimpahnya material batuan gamping, dolomit, sekis dan material rombakan lainnya(sirtu) di hampir semua wilayah yang diselidiki.
DAFTAR PUSTAKA

Bemmelen, R.W.Van., 1949., The Geology of Indonesia. Vol I. Martinus Nijhoff. The Hague.

Biro Pusat Statistik., 2007, Maluku Dalam Angka.

Hamilton, W., 1979, Tectonics of the Indonesian Region, Geological Survey Professional paper 1079, United States Government Printing Office, Washington

PT. Nusa Namrole Mining, 1988 ,Geological Report on The Ambon Contract of Work Area, Report No. 805 – 8806, PT. Nusa Namrole Mining, Jakarta

Tjokrosapoetra, S., E. Rusmana, Sukardi & A.Achdan., 1980, Geologic Map of Ambon Quadrangle, Arsip Pus.Penel.Pengem.Geol

Tjokrosapoetra, S., and T.Budhitrisna., 1982, Geology and Tectonics of the northern Banda Arc, GRDC. Bull.n. 6, pp. 1 -17
Tjokrosapoetra, S., A.Achdan &. H.Z. Abidin, 1988, Geologic Map of Masohi Quadrangle, Ambon, scale 1 : 250,000. Open file report. Map. Div. GRDC.

Usna, I., S. Tjokrosapoetra, & S. Wiryosujono., 1979, Geological Interpretation of a seismic reflection profile across the Banda Sea between Wetar and Buru Island. Geol. Res. And Dev. Centre, Bull. N. 1, p. 7 – 15









Eksplorasi Umum Batumulia Di Daerah Pulau Kasiruta Kabupaten Halmahera Selatan Provinsi Maluku Utara
Irwan Muksin, Zulfikar, Herry R.E., Martua R. P
Kelompok Program Penelitian Mineral

Sari

Secara administratif, lokasi eksplorasi umum Batumulia terletak di daerah Pulau Kasiruta, Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara. Secara geografis, daerah ini dibatasi oleh koordinat  127º 05’ 28” - 127º 12’ 56” Bujur Timur dan 0º 17’ 41” - 0º 28’ 57” Lintang Selatan.

Satuan batuan yang terdapat di daerah penyelidikan adalah Satuan Lava Andesit, satuan ini hampir menutupi sebagian besar daerah penyelidikan; Satuan Batugamping, menempati bagian utara timur daerah penyelidikan: Satuan Breksi Volkanik, menempati sedikit wilayah daerah penyelidikan di sudut selatan; Endapan Aluvium, menempati daerah pedataran bagian selatan daerah penyelidikan.

Keterdapatan batumulia jenis krisokola dijumpai berupa urat - urat mengisi rekahan yang terdapat pada batuan lava andesit, secara geologi termasuk dalam penyebaran satuan lava andesit yang berumur Oligosen. Batumulia jasper dijumpai berupa bongkah-bongkah di sungai dan di pantai, terdapat bersama-sama dengan bongkah-bongkah krisokola. Di pantai Waringin, Desa Imbuimbu krisokola mempunyai sumber daya hipotetik sebesar 2.000 m3, sedang jasper dengan sumber daya hipotetik sebesar 1.000 m3.

Keterdapatan batumulia krisokola di daerah Pulau Kasiruta ini tersebar di tujuh lokasi meliputi wilayah empat desa, yaitu Desa Palamea, Desa Imbuimbu, Desa Doko dan Desa Bisori. Sedangkan batumulia jasper tersebar di dua desa yakni Desa Doko dan Desa Imbuimbu.

Batumulia krisokola dan jasper dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku batu permata atau perhiasan.


PENDAHULUAN

Dalam rangka pelaksanaan kegiatan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Tahun Anggaran 2008, Pusat Sumber Daya Geologi telah mengadakan kegiatan eksplorasi umum endapan batumulia di daerah Pulau Kasiruta, Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara.

Eksplorasi umum ini dilaksanakan berdasarkan hasil penyelidikan terdahulu, yaitu Eksplorasi Pendahuluan Batumulia dan Bahan Galian Industri di daerah Pulau Bacan dan Pulau Kasiruta di Kabupaten Maluku Utara, Provinsi Maluku,  pada tahun 1993 yang dilakukan oleh Direktorat Sumberdaya Mineral sekarang menjadi Pusat Sumber Daya Geologi dan merekomendasikan untuk dilakukannya  eksplorasi umum batumulia guna mendapatkan gambaran secara lebih akurat dan lengkap sehingga dapat digunakan sebagai dasar pengembangan dari potensi batumulia.

Kegiatan eksplorasi umum endapan batumulia di daerah Pulau Kasiruta, Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara ini dimaksudkan untuk mendapatkan data yang lebih akurat dan aktual guna mengetahui lebih jauh keterdapatan endapan batumulia yang mempunyai prospek cukup baik untuk dapat dikembangkan.

Lokasi eksplorasi umum terletak di daerah Kecamatan Kasiruta Barat, Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara. Secara geografis, daerah ini dibatasi oleh koordinat  127º 05’ 28” - 127º 12’ 56” Bujur Timur dan 0º 17’ 41” - 0º 28’ 57” Lintang Selatan.

Pencapaian lokasi dapat dicapai dari Jakarta ke Ternate dengan menggunakan pesawat udara. Daerah eksplorasi dapat dicapai dengan menggunakan jalur laut dari Ternate melalui Pulau Bacan dilanjutkan ke Pulau Kasiruta.


GEOLOGI DAN POTENSI BAHAN GALIAN

Satuan morfologi daerah penyelidikan terdiri dari dua satuan morfologi, yaitu :
Satuan morfologi perbukitan, ditandai oleh relief topografi yang bergelombang, di daerah penyelidikan sebagian morfologi ini mempunyai bentuk puncak yang melebar. Satuan ini sebagian besar ditempati oleh batuan volkanik seperti breksi gunungapi dan lava andesit. Bagian puncak dari perbukitan ini masih berupa hutan, sedangkan bagian lerengnya dijadikan oleh masyarakat sekitar sebagai lahan perkebunan. Satuan ini menempati bagian tengah daerah penyelidikan, memanjang hampir utara-selatan.

Satuan morfologi pedataran, terutama didominasi oleh satuan aluvium, terdapat di bagian selatan sekitar daerah aliran sungai Kasiruta serta sedikit di bagian barat daerah penyelidikan di sepanjang pantai. Morfologi ini tersusun oleh batuan hasil endapan sungai berupa kerakal, kerikil dan bongkah.

Dari hasil penyelidikan lapangan, dapat diketahui berbagai jenis batuan di daerah penyelidikan. Jenis-jenis batuan yang terdapat di daerah penyelidikan terdiri dari batuan volkanik dan batuan sedimen. Batuan volkanik terdiri dari breksi gunungapi dan lava andesit, tersebar di bagian barat dan tengah pulau Kasiruta. Lava andesit di beberapa tempat menunjukan struktur lava bantal dan alur-alur bekas aliran lava. Pada umumnya lava andesit ini telah mengalami ubahan propilitisasi, demikian pula halnya dengan komponen andesit dalam breksi gunungapi. Gejala mineralisasi dijumpai berupa mineral berwarna biru kehijauan yang terdapat mengisi rekahan dalam lava andesit ataupun di dalam semen batuan breksi gunungapi. Pada beberapa tempat dijumpai batupasir dan batulempung sebagai sisipan.

Batuan sedimen terdiri dari batugamping dan batugamping pasiran, tersebar di bagian tenggara dan utara Pulau Kasiruta, sedangkan batuan tufa pasiran dijumpai tersebar di bagian selatan dan baratdaya Pulau Kasiruta.

Berdasarkan pengumpulan data primer hasil pengamatan langsung di lapangan, di daerah penyelidikan terdapat beberapa jenis batumulia, yaitu  krisokola dan jasper.

Potensi batumulia di Pulau Kasiruta terpusat di bagian barat pulau Kasiruta, terutama di sekitar wilayah Desa Palamea, Desa Doko, Desa Bisori dan Desa Imbuimbu.

Krisokola
Krisokola dijumpai berwarna hijau kebiruan, bersifat amorf dengan kekerasan berkisar antara 3 – 4 pada skala Mohs. Kilap tanah sampai kaca, dan bersifat translusen sampai opak. Krisokola primer dijumpai terdapat sebagai urat-urat pengisi rekahan dalam batuan breksi volkanik dan lava andesit. Urat-urat dijumpai setempat-setempat dengan ketebalan berkisar antara 0,5 – 20 cm dan panjang tidak menentu, umumnya sekitar 1 – 50 cm. Urat berbentuk tidak beraturan dengan arah umum N 300o E. Sebagian krisokola ini telah mengalami proses silisifikasi sehingga kekerasan dapat mencapai 7 pada skala Mohs.

Urat-urat dapat ditemukan pada permukaan maupun pada kedalamaan beberapa puluh meter di dalam lubang-lubang penggalian. Selain sebagai endapan primer berupa urat-urat, krisokola juga dijumpai sebagai endapan sekunder berupa bongkah-bongkah berukuran mencapai sekitar 10 cm di sungai-sungai yang melalui daerah penyelidikan, ataupun di pantai-pantai.

Lokasi keterdapatan krisokola antara lain daerah Sungai Kawasi dan Sungai Palamea Kecil (Desa Palamea), S. Juli, Tanjung Gulao dan Majiko (Desa Doko), Desa Bisori dan Desa Imbuimbu.
 
a. Daerah Kawasi, Desa Palamea.
Di daerah ini (lokasi KS-01, KS-12, KS-38, dan KS-39) dijumpai beberapa urat-urat krisokola berukuran tebal sekitar 1 hingga 10 cm dengan panjang sekitar 10 cm dengan arah umum N 295o E. Penyebaran urat umumnya tidak menerus dan terdapat secara setempat-setempat sehingga sumber daya tidak dapat dihitung. Urat-urat dapat dijumpai di permukaan ataupun pada kedalaman mencapai 35 meter pada lubang-lubang penggalian oleh penduduk setempat. Hasil analisis petrografi terhadap urat krisokola dari lokasi KS-01 menunjukkan komposisi mineral terdiri dari plagioklas (67%), piroksen (25%), mineral opak (8%). Untuk KS-12, komposisi mineral terdiri dari mineral opak (77%), kalsedon 15%, aragonit 5%, zeolit 3%. Sedangkan hasil analisis kimia major element terhadap conto dari lokasi KS-01 memberikan kandungan SiO2 55,65%, Al2O3 16,52%, Fe2O3 8,62%, CaO 6,66%, MgO 2,32%, Na2O 3,03%, K2O 1,7%, P2O5 0,38%, dan MnO 0,16%. Bongkah-bongkah krisokola berukuran 1 - 5 cm dijumpai di Sungai Palamea pada lokasi KS-11 dan KS-14.

Selain sebagai bongkah di sungai, krisokola juga dijumpai berupa butiran berwarna hijau kebiruan, berbentuk menyudut tanggung, berukuran beberapa milimeter pada konsentrat dulang di lokasi KS-13.

b. Daerah S. Palamea Kecil, Desa Palamea.
Di daerah ini krisokola dijumpai di lokasi KS-15 dan KS-41 berupa urat-urat berwarna hijau kebiruan berukuran tebal sekitar 1-10 cm dan panjang mencapai 15 cm dengan arah umum N 300oE. Penyebaran urat umumnya tidak menerus dan terdapat secara setempat-setempat sehingga sumber daya tidak dapat dihitung. Hasil analisis petrografis terhadap conto urat di lokasi KS-15 menunjukkan kandungan mineral yang dominan adalah plagioklas 52%, piroksen 3%, gelas 40% dan mineral opak 5%. Sedangkan mineral berwarna hijau kebiruan terdapat dalam jumlah sedikit. Pemeriksaan mineralogi butir terhadap konsentrat dulang di lokasi ini tidak menunjukkan adanya butiran mineral krisokola. Selain berupa urat-urat, di lokasi ini krisokola juga dijumpai berupa bongkah-bongkah berukuran mencapai 20 cm di sepanjang sungai Palamea Kecil, antara lain di lokasi KS-16. 

c. Daerah S. Juli, Desa Doko.
Di daerah sekitar aliran Sungai Juli, terutama di lokasi dan KS-03, KS-04,  KS-19, KS-36 dan KS-37 dijumpai urat-urat mineral krisokola pada batuan breksi gunungapi. Ketebalan urat bervariasi dari beberapa milimeter hingga mencapai 10 cm dengan panjang 20 cm. Arah umum urat N 290o E dan umumnya tidak menerus serta terdapat secara setempat-setempat sehingga sumber daya tidak dapat dihitung.  Hasil analisis kimia major element terhadap conto urat krisokola dari lokasi KS-03 dan KS-19 menunjukkan kandungan SiO2 55,02-94,70%, Al2O3 0,65-14,56%, Fe2O3 6,86%, CaO 4,03%, MgO 1,54%, Na2O 0,42%, K2O 0,05-0,47%, P2O5 0,20-0,23%, dan MnO 1,56-2,03%.  Sedangkan hasil pemeriksaan petrografi terhadap conto dari lokasi KS-19 menunjukkan komposisi mineral terdiri dari kalsedon 67%, aragonit 13%, mineral opak 10% dan oksida besi 10%. Bongkah-bongkah krisokola berukuran mencapai 15 cm dijumpai tersebar di sepanjang aliran Sungai Juli terutama pada lokasi KS-17 dan KS-18.  Konsentrat dulang dari lokasi KS-22 menunjukkan komposisi mineral didominasi oleh mineral piroksen, kuarsa, magnetit, hematit, dan oksida besi. Sedangkan butiran krisokola dijumpai dalam jumlah sedikit.

d. Daerah Tanjung Gulao, Desa Doko.
Urat-urat mineral krisokola berwarna hijau kebiruan di daerah Tanjung Gulao dijumpai di lokasi KS-10 dan KS-34. Urat-urat dijumpai berukuran tebal mencapai 5 sentimeter dengan panjang rata-rata10 cm. Penyebaran urat umumnya tidak menerus dan terdapat secara setempat-setempat sehingga sumber daya tidak dapat dihitung. Hasil analisis kimia unsur utama terhadap conto urat dari lokasi KS-10 menunjukkan kandungan SiO2 72,11%, Al2O3 1,67%, Fe2O3 0,47%, CaO 1,33%, MgO 0,32%, Na2O 0,78%, K2O 0,28%, P2O5 0,27%, dan MnO 2,75%.  Hasil analisis petrografi terhadap urat krisokola dari lokasi KS-10 menunjukkan komposisi mineral terdiri dari mineral opak (80%), dan kalsedon 20%.

e. Daerah Majiko, Desa Doko.
Di daerah Majiko, urat-urat krisokola dijumpai terdapat di lokasi KS-08, KS-24, dan KS-25. Urat krisokola dijumpai berukuran tebal mencapai 20 sentimeter dengan panjang rata-rata 50 – 100 sentimeter berarah umum N 300o E. Penyebaran urat umumnya tidak menerus dan terdapat secara setempat-setempat sehingga sumber daya tidak dapat dihitung. Hasil analisis kimia unsur utama  dari conto lokasi KS-08 menunjukkan kandungan SiO2 45,69%, Al2O3 2,85%, Fe2O3 1,04%, CaO 1,14%, MgO 0,41%, Na2O 0,06%, K2O 0,14%, P2O5 0,20%, dan MnO 3,03%.  Hasil pemeriksaan petrografis terhadap conto KS-08, menunjukkan komposisi mineral terdiri dari kuarsa (70%), mineral opak (20%), dan serisit (10%). Krisokola berupa bongkah-bongkah berukuran mencapai 10 sentimeter dijumpai di sepanjang S. Majiko terutama di lokasi KS-05, KS-09, dan KS-23. Pemeriksaan mineralogi butir terhadap konsentrat dulang di lokasi KS-23 menunjukkan komposisi mineral terdiri dari piroksen (60,16%), magnetit (24,05%), kuarsa (15,64%), oksida besi (0,15%), dan sedikit mineral krisokola berwarna hijau kebiruan.

f. Daerah Desa Besori.
Di daerah ini urat-urat krisokola dijumpai di lokasi KS-07, KS-27, KS-29, dan KS-30. Urat-urat krisokola berwarna hijau kebiruan dijumpai berukuran tebal antara 1 hingga 10 cm dengan panjang mencapai 15 cm. Arah umum urat sekitar N 300o E dengan penyebaran secara setempat-setempat dan bersifat tidak menerus sehingga sumber daya tidak dapat dihitung.  Hasil analisis kimia unsur utama terhadap conto urat krisokola dari lokasi KS-07 menunjukkan kandungan SiO2 25,75%, Al2O3 1,09%, CaO 0,22%, MgO 0,03%, Na2O 0,06%, K2,O 0,04%, P2O5 0,20%, dan MnO 2,80%. Hasil analisis petrografi terhadap conto KS-07 menunjukkan komposisi mineral terdiri dari lempung (25%), kalsedon (35%), mineral opak (35%) dan oksida besi (5%).

g. Daerah Waringin, Desa Imbu-imbu.
Keterdapatan urat krisokola di daerah ini dijumpai pada lokasi KS-33. Urat berukuran tebal 0,5 – 5 cm dengan panjang sekitar 25 cm. Penyebaran urat umumnya tidak menerus dan terdapat secara setempat-setempat sehingga sumber daya tidak dapat dihitung. Sedangkan keterdapatan krisokola berupa bongkah-bongkah berukuran antara 2 – 10 cm dijumpai di pantai pada lokasi KS-02, tersebar seluas sekitar 200 x 50 meter dengan ketebalan rata-rata sekitar 1 meter. Dengan asumsi keterdapatan bongkah krisokola sekitar 20 %, sumber daya hipotetik dapat ditentukan sebesar 2.000 m3.  

Jasper
Jasper termasuk golongan kuarsa mikrokristalin granular yang mempunyai campuran bermacam-macam warna dan biasanya pekat. Kekerasannya antara 6,5 - 7 pada skala Mohs dan berat jenis 2,7. Lokasi kerdapatan jasper antara lain sekitar daerah Tano Ma’ake dan Sungai Majiko desa Doko, serta pantai Waringin, Desa Imbuimbu, dijumpai sebagai bongkah-bongkah berukuran mencapai antara 5 cm hingga 70 cm.
 Di daerah Tano Ma’ake, Desa Doko jasper dijumpai berupa bongkah berukuran diameter sekitar 70 cm di lokasi KS-06. berwarna coklat muda hingga coklat tua, keras dan masif.

Di daerah sekitar aliran Sungai Majiko, Desa Doko, jasper dijumpai berupa bongkah-bongkah berukuran antara 5 – 20 cm, berwarna coklat muda hingga abu-abu kekuningan, keras.

Di daerah pantai Waringin, Desa Imbuimbu, jasper dijumpai di pantai bersama-sama dengan bongkah krisokola. Bongkah jasper berukuran diameter  5 – 10 cm, berwarna coklat tua, coklat kemerahan dan kehijauan. Di lokasi KS-02 dan KS-31 tersebar seluas sekitar 200 x 50 meter dengan ketebalan rata-rata sekitar 1 meter. Dengan asumsi keterdapatan bongkah jasper sekitar 10 %, sumber daya hipotetik dapat ditentukan sebesar 1.000 m3.

Prospek Pemanfaatan Dan Pengembangan Bahan Galian
Pemanfaatan batumulia krisokola dan jasper cukup banyak dan beragam terutama sebagai bahan baku untuk perhiasan.
Sehubungan semakin meningkatnya kebutuhan batumulia dewasa ini, maka kebutuhan bahan baku batumulia juga meningkat. Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku batumulia maka diperlukan data-data dan informasi tentang kerdapatan batumulia.

Prospek pengembangan bahan galian yang tergolong batumulia, dapat dilakukan melalui proses pengolahan untuk dijadikan batupermata atau perhiasan. Proses pengolahan tersebut dapat dilakukan oleh penduduk setempat yang didukung dengan ketrampilan khusus dan peralatan yang memadai. Hal lain yang dapat dilakukan dalam hubungannya dengan prospek pengembangan bahan galian ini, yaitu dengan cara membawa bahan baku tersebut ke tempat lain untuk dijadikan batu permata/perhiasan.

Pada saat ini di Pulau Kasiruta dan Labuha (Ibukota Kabupaten) sudah ada pengrajin batumulia, jumlahnya 28 pengrajin. Produk yang dihasilkan dikenal dengan sebutan ”Batu Bacan”. Dalam pengerjaannya para pengrajin ini masih menggunakan peralatan sangat sederhana sehingga produk yang dihasilkan masih terbatas, baik dalam bentuk maupun jumlahnya.

Dalam pengambilan dan pengolahan bahan baku, para penambang dan pengrajin (penduduk setempat) masih menggunakan pahat dan linggis sehingga banyak bahan baku  yang terbuang karena pecah-pecah. Pecahan bahan baku krisokola yang terbuang ini sebenarnya masih dapat digunakan sebagai bahan baku untuk batu hias.

KESIMPULAN DAN SARAN

Keterdapatan batumulia jenis krisokola dijumpai berupa urat - urat mengisi rekahan yang terdapat pada batuan lava andesit, secara geologi termasuk dalam penyebaran satuan lava andesit dari Formasi Bacan yang berumur Oligosen. Karena keterdapatan urat krisokola bersifat setempat-setempat dan tidak menerus, menyebabkan sumber dayanya sulit dihitung.

Batumulia jasper dijumpai berupa bongkah-bongkah di sungai dan di pantai, terdapat bersama-sama dengan bongkah-bongkah krisokola. Di pantai Waringin, Desa Imbuimbu jasper mempunyai sumber daya hipotetik sebesar 2.000 m3, sedangkan krisokola dengan sumber daya hipotetik sebesar 1.000 m3.

Keterdapatan batumulia krisokola di daerah Pulau Kasiruta ini tersebar di tujuh lokasi meliputi wilayah empat desa, yaitu Desa Palamea, Desa Imbuimbu, Desa Doko dan Desa Bisori. Sedangkan batumulia jasper tersebar di dua desa yakni Desa Doko dan Desa Imbuimbu.
Batumulia krisokola dan jasper ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku batu permata atau perhiasan.

Untuk itu perlu dilakukan :
Penanganan yang tepat dan terarah dari Pemerintah Daerah dan berbagai pihak yang terkait agar dapat menaikkan pendapatan  dan meningkatkan perekonomian masyarakat sekitarnya.
Perlu bantuan dari Pemerintah dan berbagai Instansi terkait untuk dijadikan sebagai Bapak Angkat dalam rangka peningkatan sumber daya manusia, kualitas, desain, produksi dan pemasarannya.

Perlu pengawasan dari pemerintah daerah kepada pihak pengusaha sehingga pengusaha tidak hanya memikirkan masalah untung rugi dengan investasi yang ditanamkan.

Pemboran Dalam Batubara/ Pengukuran Packers Dan Gas Di Daerah Tamiang Dan Sekitarnya Kabupaten Musi, Banyuasin Propinsi Sumatera Selatan
Oleh

Rahmat Hidayat, Sigit Arso Wibisono dan S. M. Tobing
(Kelompok Program Penelitian Energi Fosil)

S A R I

Kegiatan pemboran dalam batubara dan gas telah dilakukan di daerah Tamiang, Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatra Selatan. Kegiatan ini adalah untuk mengetahui keadaan geologi, ketebalan dan penyebaran batubara, sumber daya batubara dan kandungan gas batubara.

Formasi pembawa batubara adalah Fm. Muaraenim dengan keempat anggotanya M1, M2, M3, dan M4., dimana setiap anggota memiliki lapisan batubara dan karakteristik masing-masing.

Dua titik bor menembus 4 (empat) lapisan batubara pada titik bor TBM-01 dengan ketebalan 0,20 – 7,65 m. Pada titik bor TBM-02 ditembus 10 (sepuluh) lapisan batubara dengan ketebalan mulai dari 0,35 – 2,60 m. Lapisan batubara yang paling tebal terdapat pada titik bor TBM-01 pada kedalaman 44,35 – 52,00 m, setebal 7,65 m. Penyebaran endapannya mengikuti sayap sinklin dengan arah Baratlaut – Tenggara dengan kemiringan 5o – 40o.

Kualitas batubara termasuk ke dalam ‘low - medium rank coal’ dengan nilai kalori berkisar dari 5.199 – 5.838 kal/gr. Kandungan abu 5,29 – 9,75%, sulfur total 0,61 – 2,81% dan total moisture 44,14 – 51,00% (ar).

Sumber daya batubara (M2) pada kedua titik ini dengan luas pengaruh sepanjang arah jurus lapisan batubara sekitar 1.000 m dan kedalaman sampai 200 m, adalah sekitar 31,792 juta ton.

Hasil analisis gas dalam batubara menunjukkan bahwa total gas 6.108.611,54 m3/ton (in place). Kandungan gas methan (CH4) sekitar 258.081,98 m3/ton atau sekitar 4,2249% CH4.









PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pemakaian batubara sebagai sumber energi semakin meningkat seiring dengan tingginya harga minyak dunia dan sulitnya penemuan sumber daya minyak pada cekungan-cekungan minyak Indonesia.

Sebagai antisipasi menipisnya cadangan minyak, sudah saatnya gas dari batubara dapat dimanfaatkan sebagai energi alternatif.

Berbagai kalangan industri beralih menggunakan batubara sebagai sumber energi, misalnya industri semen dan tekstil. Batubara yang dipakai oleh kalangan industri umumnya diperoleh dari tambang terbuka.

Sementara itu, sumber daya batubara yang belum tergali dan masih berada jauh di bawah permukaan masih cukup besar.

Semua jenis dan kualitas batubara mengandung gas, seperti gas methan (CH4) yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber daya energi. Banyaknya kandungan gas di dalam batubara, salah satu parameternya adalah kualitas. Menurut  neraca Pusat Sumber Daya Geologi, (2008), sumber daya batubara Indonesia sekitar 104 milyar ton. Kira-kira 47 milyar ton diantaranya terdapat di dalam Cekungan Sumatra Selatan.

Penyelidikan gas dalam batubara di daerah ini perlu dianalisis untuk mengetahui kandungan gas dan potensinya. Berdasarkan hal tersebut, Pusat Sumber Daya Geologi, Badan Geologi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, pada tahun anggaran 2008 melakukan kegiatan pemboran dalam batubara di daerah Tamiang, Provinsi Sumatra Selatan.
Maksud dan Tujuan
Maksud dari kegiatan ini adalah untuk mengetahui data geologi dan informasi tentang gas di dalam batubara yang akan dijadikan sebagai acuan untuk pemerintah, pemerintah daerah dan perusahaan swasta dalam rencana pengembangan gas dalam batubara. Melalui kegiatan pemboran inti dapat diinventarisasi besarnya sumber daya dan kualitas batubara serta kandungan gasnya.

Tujuannya adalah untuk penyediaan data potensi gas secara umum untuk pemerintah, pemerintah daerah dan pengusaha swasta dalam pengembangan potensinya.

Hasil inventarisasi kemudian dimasukkan dalam sistem database Pusat Sumber Daya Geologi.

Lokasi
Daerah penyelidikan terletak di dalam wilayah Kecamatan Sungaililin, Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatra Selatan. Secara geografis terletak pada  koordinat 103?45?00” – 104?00?00” BT dan 02?15?00” – 2?30’00” LS (Gambar 1).


Waktu dan Pelaksana
Pelaksanaan kegiatan dimulai pada tanggal 6 Nopember - 15 Desember 2008. Pelaksana terdiri dari tim pemetaan geologi, pemboran dan  pengukuran gas.

Metoda Penyelidikan
Kegiatan lapangan meliputi pemetaan geologi, pemboran batubara dan pengukuran kandungan gas. Pemetaan geologi dilakukan untuk menambah data singkapan yang sudah ada sebelumnya. Pemboran batubara selain untuk mengetahui korelasi dan jumlah lapisan batubara juga untuk mendapatkan conto-conto batubara yang akan dimasukkan ke dalam canister sebagai tempat untuk pengukuran gas batubara.

Pengambilan conto batubara khususnya dari lobang bor diperlukan untuk pengukuran kandungan gas di lapangan maupun untuk analisa laboratorium, baik untuk analisa kimia proksimat  maupun analisa kandungan dan komposisi gas dalam batubara.

Penyelidik Terdahulu
Pada tahun 1978, Shell Mijnbouw melakukan penyelidikan secara umum terhadap batubara dan formasi pembawanya di dalam Cekungan Sumatra Selatan. Hasil penyelidikannya menyebutkan bahwa Fm. Muaraenim adalah formasi pembawa batubara yang utama di dalam cekungan ini yang dibagi menjadi empat anggota, yaitu M1, M2, M3 dan M4.

Ilyas, S., (1994) memetakan daerah penyelidikan secara regional dengan skala 1 : 100.000 dan menemukan beberapa singkapan-singkapan batubara yang tersebar pada Fm. Muara Enim dengan ketebalan batubara beravariasi mulai dari satu meter hingga 12,8 meter.

Sukardi dkk., (1999) melakukan kajian dan pemboran batubara di beberapa lokasi bagian selatan daerah penyelidikan, sehingga diperoleh ketebalan batubara yang sebenarnya dan pola sebaran batubara secara umum.

Tobing, S. M. (2007) melakukan pemetaan geologi batubara di daerah ini untuk mengetahui lebih jauh sebaran batubara dan kemungkinan pengembangan gas batubaranya.
GEOLOGI UMUM

Sedimentasi di Cekungan Sumatra Selatan terdapat dua satuan stratigrafi batuan yang utama selama Tersier, yaitu Kelompok Telisa dan Kelompok Palembang. Menurut Gafoer, dkk., 1986, runtunan litologi Kelompok Telisa merupakan satuan batuan yang terbentuk dalam fase genanglaut terdiri dari Fm. Talangakar dan Fm. Gumai. Sedangkan Kelompok Palembang terbentuk dalam fase susutlaut, terdiri dari Fm. Air Benakat, Fm. Muaraenim dan Fm. Kasai. Kerangka stratigrafi Cekungan Sumatra Selatan dapat dilihat pada Tabel 1.
Formasi Talangakar (Oligosen – Miosen Awal) terdiri dari batupasir gampingan, batupasir kuarsa tufaan, sebagian konglomeratan, dengan sisipan batubara, menindih tidak selaras batuan Pra-Tersier yang menunjukkan tinggian pada awal pembentukan cekungan Tersier. Proses denudasi berlangsung sampai Oligosen kemudian disusul pengendapan batuan-batuan Fm. Talangakar. Di bagian barat dan baratdaya cekungan batupasir kuarsa dalam formasi ini berkembang cukup baik.

Kemudian batuan serpih Fm. Gumai (Miosen Awal – Miosen Tengah) menindih selaras Fm. Talangakar. Setelah pengendapan Fm. Gumai yang merupakan tahap puncak genanglaut, diendapkan Fm. Airbenakat (Miosen Tengah – Miosen Akhir) sebagai hasil dari awal fase susutlaut, terdiri dari batulanau berkarbon dengan sisipan batulanau kuarsa.

Selanjutnya, Fm. Muaraenim (Miosen Akhir – Pliosen Awal) diendapkan menindih selaras Fm. Airbenakat, terdiri dari batulempung, batupasir tufaan dan sisipan batubara.

Fm. Kasai (Plio-Plistosen) menindih selaras Fm. Muaraenim, terdiri dari tufa, batulempung dan batupasir tufaan. Endapan permukaan terdiri dari endapan sungai dan endapan rawa yang luas menutupi Fm. Kasai.

Struktur Geologi
Bentuk-bentuk struktur geologi yang umum pada batuan Tersier adalah lipatan, sesar, dan kekar. Lipatan pada umumnya mempunyai arah Baratlaut - Tenggara pada batuan berumur Oligosen – Plio Plistosen.

Sesar terdiri dari sesar turun dan sesar naik. Sesar turun terdapat pada batuan yang berumur Oligosen sampai Miosen, arahnya Baratlaut – Tenggara. Sesar naik umumnya terdapat di bagian utara dan berarah Baratlaut – Tenggara dan di beberapa tempat dengan arah Timurlaut – Baratdaya dan Barat – Timur, terjadi pada batuan yang berumur sampai Plio Plistosen. Kekar yang terdapat umumnya berarah Timurlaut – Baratdaya.

Menurut Gafoer, dkk., 1986, kegiatan tektonik pada Pra Tersier sampai Tersier Awal tidak dapat diamati di permukaan. Disimpulkan bahwa jalur Palembang ke arah baratlaut merupakan suatu tinggian pada Tersier Awal. Sedangkan di sebelah selatan terbentuk depresi tempat diendapkannya rombakan batuan Pra Tersier (Fm. Lahat). Daerah tinggian dan lekukan diduga terbentuk pada masa tektonik Kapur Akhir atau Tersier Awal, dimana keduanya dibatasi oleh sesar yang berarah Baratlaut – Tenggara dan semakin aktif pada waktu pengendapan Fm. Talangakar bagian bawah.

Denudasi yang terjadi pada tinggian itu berhenti pada Oligosen Akhir dan disusul oleh pengendapan Fm. Talangakar; kemudian disusul oleh pengendapan Fm. Gumai pada waktu genanglaut mencapai puncaknya.

Kegiatan tektonik berikutnya diduga terjadi pada Miosen Tengah yang mengakibatkan terbentuknya sesar turun dengan arah Baratlaut – Tenggara.

Tektonik yang paling akhir terjadi setelah itu adalah terbentuknya sesar turun yang juga berarah Timurlaut – Baratdaya yang pada umumnya terdapat di daerah bubungan antiklin. Aktifitas tektonik ini diduga masih berlangsung hingga sekarang.

Indikasi Endapan Batubara dan Gas
Formasi Muaraenim mempunyai empat anggota berdasarkan kelompok kandungan lapisan batubara oleh Shell Mijnbouw (1978), terdiri dari bawah ke atas yaitu Anggota M1, M2, M3 dan M4. Umumnya, lapisan-lapisan batubara pada masing-masing anggota ini mempunyai nama sendiri sesuai dengan karakteristiknya. Beberapa lapisan batubara di masing-masing anggota sering dijumpai lapisan batubara tidak menerus yang disebut sebagai lapisan gantung dengan ketebalan beberapa puluh sentimeter. Di beberapa cekungan formasi pembawa batubara di Sumatra Selatan, baik anggota maupun lapisan-lapisan batubara pada masing-masing anggota tidak selalu dijumpai sebagaimana seharusnya, tergantung kepada kondisi geologi dan tektonik pada waktu pengendapannya.

Lapisan-lapisan batubara di dalam keempat anggota formasi ini dapat dijumpai di daerah penyelidikan (Sukardi, dkk., 1999). Oleh karena itu, pada semua lapisan batubara yang terdapat di daerah penyelidikan mempunyai peluang untuk menghasilkan gas methan dan atau gas karbon dioksida. Semakin tebal lapisan batubara umumnya kandungan gas juga semakin besar.

Secara teoritis semua endapan batubara mengandung gas, apakah sebagai gas bebas dalam ‘cleats/fissures’ atau gas yang terikat di atas permukaan batubara maupun di dalam pori-pori batubara. Gas ini terperangkap di dalam batubara ketika berubahnya kandungan organik sejak dari proses terbentuknya gambut hingga koalifikasi (pematangan batubara) yaitu meningkatnya kualitas batubara. Semakin tinggi tingkat kematangan batubara kandungan gas methan dalam batubara semakin meningkat.

HASIL DAN DISKUSI

Geologi Daerah Penyelidikan
Morfologi
Morfologi daerah penyelidikan sebagian besar merupakan daerah perbukitan bergelombang rendah dengan ketinggian sampai 75 m dan daerah pedataran dan rawa dengan ketinggian 5 - 10 m.  Satuan perbukitan bergelombang rendah sebagian membentuk pematang dengan arah utama formasi pembentuknya. Daerah pedataran rendah dan rawa umumnya terdapat di sekitar aliran sungai utama dan dataran banjir.

Stratigrafi
Di daerah penyelidikan terdapat tiga formasi utama dari yang tua ke yang lebih muda yaitu Fm. Airbenakat, Fm. Muaraenim, Fm. Kasai yang masing-masing kedudukannya selaras antara satu dan lainnya dan endapan alluvial. Stratigrafi umum daerah penyelidikan dapat dilihat pada Tabel 2.
Formasi Airbenakat (Miosen Tengah – Miosen Atas) terdiri dari batulempung berwarna abu-abu gelap kebiruan sampai abu-abu gelap kecoklatan di bagian bawah, setempat tufaan. Di bagian tengah satuan batuan disusun oleh batupasir berbutir halus – sedang berwarna abu-abu kecoklatan dan mengandung kuarsa, feldspar dan fragmen batuan lain. Di bagian atas satuan batuan disusun oleh perselingan antara batupasir, batulempung, batulanau dan serpih dengan sisipan tipis pasir kuarsa. Formasi batuan ini tidak mengandung lapisan batubara.

Formasi Muaraenim mempunyai empat anggota berdasarkan kelompok lapisan batubara sekaligus bertindak sebagai pembatasnya. Keempat anggota dalam formasi ini mulai dari bagian bawah dinamai sebagai M1, M2, M3, dan M4 dengan karakteristik masing-masing.

Anggota M1 kontak selaras dengan Fm. Airbenakat yang berada di bawahnya sebagai dasar lapisan batubara bagian terbawah (Lapisan I, Keladi). Litologi Anggota M1 disusun oleh perulangan antara batupasir, batulanau, batulempung dan batubara. Warna batuan umumnya abu-abu kehijauan dan coklat kekuningan serta struktur lentikular umum dijumpai dalam batulempung. Anggota ini mengandung dua lapisan batubara yaitu Lapisan I (Keladi) dan Lapisan II (Merapi). Lapisan II biasanya menerus dan sebaliknya pada  Lapisan I.

Anggota M2 disusun oleh perselingan antara batulempung, batupasir dan batulanau dan mengandung tiga lapisan batubara. Batulempung berwarna abu-abu tua hingga coklat tua, kompak, dijumpai nodul-nodul batubesi. Batupasir berwarna abu-abu kehijauan hingga ke abu-abu tua. Agak kompak, berlapis baik, struktur silang-siur, berbutir halus – sedang, mengandung material karbon serta glaukonitan. Batulanau berwarna abu-abu kehijauan, kompak, berlapis baik dan mengandung nodul-nodul batubesi. Anggota ini mengandung tiga lapisan batubara yaitu Lapisan III (Petai), Lapisan IV (Suban) dan Lapisan V (Mangus). Batas bawah Anggota M2 berada pada dasar Lapisan III (Petai) dan batas atasnya pada atap Lapisan V (Mangus).

Bagian bawah Anggota M3 merupakan atap (roof) dari batubara Lapisan V (Mangus) dan batas atasnya adalah dasar dari batubara Lapisan VI. Anggota formasi ini dibangun oleh batupasir dan batulempung berwarna abu-abu muda sampai warna hijau tua dan coklat tua, kompak, struktur lentikuler umum, mengandung banyak material karbon dan nodul-nodul batubesi. Batulempung adalah sebagai pengapit batubara. Lapisan batubara dalam anggota ini terdapat dua lapisan (Lapisan Burung dan Lapisan Benuang) dan kurang berkembang baik.

Anggota M4 mengandung tiga lapisan batubara, dua diantaranya agak tipis dan satu lainnya agak tebal. Batas bawah anggota ini berada pada atap Lapisan VI dan batas bagian atas merupakan atap (roof) lapisan batubara paling atas yaitu Lapisan Niru. Satuan ini disusun oleh batupasir, batulanau, batulempung dan lapisan-lapisan batubara. Batupasir lebih dominan, berwarna abu-abu terang, rapuh, berbutir halus sampai kasar, terpilah baik kadang-kadang konglomeratan, berlapis baik. Batulanau berwarna abu-abu terang, kompak dan sebagian getas, laminasi paralel, mengandung jejak tetumbuhan. Batulempung sampai batulempung karbonan berwarna abu-abu kecoklatan, lunak – kompak, laminasi paralel. Batulempung dan batulanau sebagai pengapit lapisan batubara. Material volkanik (tufan) semakin meningkat ke arah atas.

Formasi Kasai (Pliosen) diendapkan selaras di atas Fm. Muaraenim, tersusun oleh batulempung tufaan berwarna biru kehijauan dan kebiruan, dan batupasirtufaan berwarna hijau sampai ke batuapung.

Endapan Alluvium terdiri dari endapan rombakan sungai dan rawa berupa pasir lepas, lumpur dan kerikil. Sebagian merupakan rombakan dari Fm. Kasai.

Struktur Geologi
Struktur geologi terdiri dari struktur lipatan dan sesar. Struktur lipatan regional membentuk antiklinorium yang disebut sebagai Antiklin Tamiang dan Antiklin Bentayan yang bersumbu Baratlaut - Tenggara. Struktur ini merupakan bagian dari sistem lipatan yang terdapat di komplek Palembang Utara.

Masing-masing antiklin mempunyai sayap yang tidak simetris, dimana sayap bagian utara/ timurlaut mempunyai kemiringan rata-rata 25o–45o, sedangkan sayap bagian selatan/baratdaya mempunyai kemiringan 5o. Sesar utama memotong sumbu antiklin membentuk sesar geser dan atau sesar normal. Di daerah Simpang Tungkal/ risik dijumpai sesar geser.

Struktur lipatan yang terbentuk pada Plio-Plistosen diikuti oleh beberapa struktur sesar, baik sesar mendatar maupun sesar normal dengan pergeseran lemah. Sesar utama umumnya memotong sumbu antiklin membentuk sesar geser dan sesar normal.
Pemboran Batubara
Pemboran inti untuk mendapatkan conto-conto batubara dilakukan pada dua titik bor, yaitu lobang bor TBM-01 dan TBM-02. Kedalaman masing-masing titik bor tersebut mencapai 100 m. Pemilihan kedua titik ini adalah untuk mendapatkan lapisan batubara pada Anggota M2.

Dari hasil pemboran ditemukan 4 (empat) lapisan batubara pada titik bor TBM-01 dengan ketebalan 0,20 – 7,65 m. Pada titik bor TBM-02 ditemukan 10 (sepuluh) lapisan batubara dengan ketebalan mulai dari 0,35 – 2,60 m. Lapisan batubara yang paling tebal terdapat pada titik bor TBM-01 pada kedalaman 44,35 – 52,00 m, setebal 7,65 m (Gambar 3).

Kualitas Batubara
Batubara yang dianalisis sebanyak 8 (delapan) conto adalah conto batubara yang kandungan gasnya telah diukur. Hal ini dilakukan untuk melihat apakah ada hubungan antara kualitas batubara dan kandungan gas batubara.

Data kualitas batubara dapat dilihat pada Tabel 3.  Nilai kalori batubara berkisar dari 5.199 – 5.838 kal/gr (adb), menunjukkan bahwa batubara dapat diklasifikasi sebagai ‘low – medium rank coal’. Kandungan abu berkisar antara 5,29 – 9,75% dan sulfur total 0,61 – 2,81%. Total moisture (ar) cukup tinggi berkisar dari 44,14 – 51%, demikian juga kandungan zat terbang, 40,88 – 45,13%.

Kandungan abu diduga terjadi sejak awal proses pembentukan batubara mulai dari gambut hingga   batubara yang dipengaruhi oleh lingkungan sekitar.

Sumber Daya Batubara
Menurut Tobing, S. M., (2007) potensi sumber daya batubara pada semua anggota Fm. Muaraenim sampai kedalaman 300 m sebesar 488.561.656 ton (hipotetik). Sumber daya batubara pada Anggota M2 adalah sebesar 178.497.200 ton (hipotetik).

Oleh karena pemboran batubara hanya dilakukan pada dua titik bor dan perhitungan sumber daya batubara (pada M2) dipersempit pada kedua titik ini dengan luas pengaruh sepanjang arah jurus lapisan batubara sekitar 1.000 m dan kedalaman sampai 200 m, diperoleh sumber daya batubara sekitar 31,792 juta ton.





Pengukuran Gas
Pengukuran kandungan gas dilakukan dengan menggunakan metode USGS.

Hasil pengukuran dari metode ini merupakan penjumlahan antara ‘lost gas’ (Q1), ‘measured gas’ (Q2) dan ‘residual gas’ (Q3). Secara matematis diuraikan dengan rumus:


                    QT = Q1 + Q2 + Q3

dimana,

QT : Jumlah Total Kandungas Gas  (cc)
Q1 : Kandungas Gas yang Hilang (Lost Gas)  (cc)
Q2 : Kandungan Gas yang Diukur dalam canister  (cc)
Q3 : Kandungan Gas Sisa (Saat Crusher)  (ml)

Sebanyak 21 conto batubara telah dilakukan pengukuran kandungan gasnya. Dari conto tersebut 2 (dua) conto batubara diambil dari sumur bor TBM01 dan sisanya sebanyak 19 conto batubara berasal dari sumur TBM02.

Hasil perhitungan (dalam satuan sentimeter kubik atau cc) untuk setiap conto batubara tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.

Hasil total pengukuran kandungan gas untuk setiap conto batubara kemudian dilakukan perhitungan untuk menentukan kandungan gas per satuan berat batubara (dalam satuan cm3/gram). Hasil dari perhitungan ini dapat dilihat pada Tabel 5.

Selain pengukuran total kandungan gas yang terdapat pada setiap conto batubara, analisis komposisi gas dilakukan dengan menggunakan alat gas chromatography.

Hasil analisa komposisi gas setiap conto batubara  dapat dilihat pada Tabel 5 dan Gambar 4. Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa semakin dalam posisi lapisan batubara, komposisi gas methane semakin berkurang. Secara teoritis semakin dalam posisi batubara semakin banyak kandungan gas methanenya. Di daerah penyelidikan dapat dikatakan bahwa tidak ada korelasi positip antara besarnya kandungan gas dan kedalaman lapisan batubara. Dengan kata lain bahwa komposisi gas methane ’cenderung’ berkurang seiring dengan bertambahnya kedalaman batubara.

Dugaan ini dapat terjadi dan dimungkinkan karena conto batubara yang dimasukkan ke dalam canister tidak seluruhnya dalam keadaan utuh sehingga mempengaruhi pengukuran komposisi gasnya. Pengukuran komposisi gas methane di daerah Tamiang dapat dilihat pada Gambar 4. Analisa komposisi gas tidak dilakukan terhadap semua conto, akan tetapi hanya beberapa conto batubara yang dapat mewakili setiap lapisan batubara.

Setelah pengukuran komposisi gas dilakukan, pengukuran gas per conto batubara dilakukan kembali. Berbeda dengan pengukuran kandungan gas perconto batubara yang pertama, pengukuran yang kedua didapatkan kandungan gas berdasarkan komposisinya. Secara teknis perhitungan kandungan gas ini didasarkan pada perhitungan matematis yang sederhana dimana hasil kandungan gas per conto batubara yang pertama dikalikan dengan komposisi dari masing-masing gas hasil pengukuran di laboratorium. Pengukuran kandungan gas per conto batubara yang kedua ini juga tidak semua di lakukan terhadap conto batubara dan hanya dilakukan terhadap beberapa conto batubara saja. Hal ini dilakukan karena hasil pengukuran kandungan gas tersebut dianggap telah mewakili setiap lapisan batubara yang ada di daerah penyelidikan.

Tabel 6 menggambarkan hasil perhitungan komposisi gas di setiap kedalaman. Hasil perhitungan komposisi gas pada Tabel 7 merupakan rangkaian akhir dari perhitungan kandungan gas dalam batubara. Dalam tabel ini terlihat bahwa kandungan gas methane terbanyak sebesar 0,00509 cc/gr atau setara dengan 0.177248 ft3/ton ada di canister TBM02-B07 pada kedalaman batubara 77,60 – 78,00 m. Setelah perhitungan selesai, perhitungan kembali dilakukan untuk mengetahui sumber daya gas methannya.

Perhitungan sumber daya gas methan hanya di fokuskan pada kedua titik bor (lapisan batubara M2) seperti yang terlihat pada Tabel 8.

Dari Tabel 8 dapat dilihat bahwa di dalam batubara sebesar 31,792 juta ton (in situ) terdapat gas methan (CH4) sebesar 258.081,98 m3; gas N2 sebesar 5.683.166,25 m3; dan gas CO2 sebesar 167.363,31 m3.

Hasil analisis kandungan gas batubara dalam lapisan batubara ini (M2) relatif sangat kecil. Keadaan ini mungkin terjadi oleh karena proses pembentukan gas masih belum optimal karena kedalaman lapisan batubara relatif masih dangkal (<100 m). Kondisi lain adalah adanya kebocoran gas pada canister, atau pengambilan conto batubara dari ‘core barrel’ tidak sempurna demikian juga dengan kondisi fisik batubara yang hancur/pecah.

KESIMPULAN DAN SARAN

Hasil pemboran dalam batubara dan gas di daerah Tamiang, Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatra Selatan dapat disimpulkan sebagai berikut:
  1. Target lapisan batubara untuk analisis gas adalah pada Anggota M2 Fm. Muaraenim.
  2. Kedalaman 2 (dua) lobang bor masing-masing mencapai 100 m. Dijumpai 10 lapisan batubara pada titik bor TBM-02 dengan ketebalan bervariasi dari 0,35 – 7,65 m.
  3. Besarnya sumber daya batubara M2 di titik TBM-01 dan TBM-02 dengan panjang lapisan batubara 2 km sampai kedalaman 200 m adalah 31,792 juta ton dan kandungan gas CH4 sebesar 258.081,98 m3.
  4. Andaikan total sumber daya batubara pada Anggota M2 di daerah penyelidikan sebesar 178.497.200 ton, maka kandungan gas yang terdapat di dalamnya hanya sekitar 1.449.009,52 m3 gas CH4 (gas in place).
  5.  Eksplorasi batubara dan gas dengan metoda pemboran dalam (>300 m) di daerah penyelidikan perlu dipertimbangkan untuk mendapatkan data sebaran dan sumber daya batubara, termasuk besarnya kandungan gas dalam batubara khususnya di daerah bagian Utara - Timurlaut dimana kemiringan lapisan batubara >30o.
  6. Analisis petrografi organik diperlukan sebagai komplemen untuk menentukan ‘rank’ dan besaran kandungan maseral batubara.
  7. Dalam eksplorasi gas dalam batubara melalui pemboran inti perlu diperhatikan bahwa ‘core recovery’ conto sebaiknya mencapai 100% dalam keadaan utuh dan sempurna dengan ukuran conto HQ. Disarankan untuk memakai ‘core barrel triple tube’ untuk mendapatkan conto yang lebih utuh dan baik.
  8. Kedalaman pemboran batubara sebaiknya antara >300 – 1.000 m. Karena pemboran yang lebih dalam akan mengurangi lepasnya gas batubara ke atmosfir. Tingginya temperatur gradien mengurangi ‘sorption capacity’ batubara.